Kamis, 18 Desember 2008

Memaknai Nasionalisme dalam Seni Tari Tradisional Aceh
Oleh: Essi Hermaliza, S.Pd.I


Pendahuluan
Sebagai daerah yang kaya akan budaya, Aceh memiliki seni tari yang luar biasa. Tidak hanya rakyatnya yang berdecak kagum akan ketangkasan dan kedinamisan gerak yang ditampilkan, namun warga dunia pun dibuat terpana dan terkagum-kagum. Keberadaan Aceh dalam tatanan global bisa dikatakan tidak dapat dipandang sebelah mata dalam hal seni budaya, khususnya seni tari yang kini telah cukup populer.
Lihat saja, bagaimana riuhnya tepuk tangan penonton ketika Tari Saman menyelesaikan tahap demi tahap gerakannya, atau lihat bagaimana mata penonton tidak berkedip ketika Seudati menggoyang lantai panggung dengan kelincahannya. Dengar pula bagaimana pesona Rapa’i Geleng membuat penikmatnya melongo, dan masih banyak seni tari lainnya yang tidak kalah mempesonanya, tidak hanya menghibur tapi juga member banyak nilai baik dari simbol-simbol gerakannya maupun dari syair-syair lagunya.
Akan tetapi mengapa generasi muda masih memandang sebelah mata? Apakah ini adalah karena nasionalisme yang semakin menipis? Ataukah karena mereka tidak memahami arti nasionalisme sebagai anak bangsa?
Perhatikan petikan kejadian berikut:
“Pulang yuk, ngapain nonton tarian gituan, kampungan banget”. Saya terperanjat ketika saya mendengar kalimat itu meluncur mulus dari lidah saudara sepupu saya, saat itu kami sedang mengunjungi Pameran Budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Balai Chik Di Tiro atau yang lebih dikenal dengan nama Gedung Sosial. Pameran tersebut juga menggelar festival tarian-tarian Aceh dari berbagai daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Antusiasme masyarakat tampak lumayan, karena Gedung Sosial tampak ramai pengunjung. Tetapi ada komentar yang mengundang tanda tanya yang muncul dari remaja seumur 19 tahun yang mengganggu pikiran saya. Ini adalah kesekian kalinya saya mendengar. “Kampungan”, itukah nilai dari tarian tradisional yang dibanggakan seluruh rakyat di bumi Serambi Mekkah ini?

Konsep Nasionalisme
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tidak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara dunia ketiga, seperti India, China, Brazil, dan Indonesia.[1]
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin “nation” yang berakar pada kata “nascor” yang bermakna ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).[2]
Dari sumber lain, Nasionalisme secara bahasa berasal dari kata berbahasa Inggris “nation”, adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[3]
Dalam hal ini, Nasionalisme dibahas dalam konteks seni budaya yang difokuskan kepada kecintaan dan kebanggaan terhadap seni budaya bangsa dimana nasionalisme itu muncul sebagai rasa dan sikap yang menganggap seni budaya lokal adalah seni budaya terbaik yang patut dilestarikan.
Pemahaman tersebut dekat dengan pemahaman awam tentang konsep Chauvinisme. Namun kedua konsep itu tentu saja berbeda, Nasionalisme memiliki kecenderungan pada gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa, sedangkan Chauvinisme adalah rasa cinta tanah air yang berlebihan dengan mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain. Contoh Chauvinisme seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler dengan kalimat Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam dunia). Slogan ini kadang masih dipakai di Jerman untuk memberi semangat pada atlit dalam bertanding. Inggris juga punya slogan Right or Wrong is My County. Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan Dewa Matahari.[4]
Jadi secara umum dapat digambarkan bahwa nasionalisme merupakan paham yang terbentuk karena kecintaan terhadap tanah air yang pada akhirnya dapat diikuti dengan sikap patriotik, rela berkorban, dan lain-lain yang berhubungan secara langsung pada pembelaan bangsa negara.



Seni Tari Tradisional Aceh
Berbicara tentang nasionalisme, seni tari juga memuat nilai nasionalisme atau pesan yang dapat meningkatkan nasionalisme masyarakat. Berikut analisis nasionalisme dalam seni tari tradisional yang tumbuh dan berkembang di bumi Serambi Mekkah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1. Tari Seudati
Kata Seudati berasal dari bahasa Arab, syahadati atau syahadatain, yang berarti kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Aceh, syahadati diubah menjadi Seudati. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata Seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Selanjutnya, kata Seudati dijadikan salah satu istilah tarian yang dikenal dengan Tarian Seudati. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Di daerah yang disebutkan terakhir tarian Seudati dijadikan sebagai salah satu tarian tradisional.
Tarian tradisional yang satu ini sempat mengalami akulturasi. Sebelumnya tarian ini disebut ratoh yang difungsikan sebagai hiburan yang gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral bahkan dakwah penyebaran Islam. Namun dalam perjalanannya mengalami perubahan sehingga saat ini Seudati lebih dikenal sebagai tarian tradisional yang menunjukkan kejantanan, keberanian sehingga diberi julukan sebagai Tari Perang Rakyat Aceh.[5]
Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeet wie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Beberapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Pakaian yang dikenakan dalam tarian Seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna kuning. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam.
Bagian terpenting dalam tarian Seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Tari Seudati terdiri dari beberapa tahap, yaitu: saleum aneuk, saleum syeikh, likok, saman, kisah, pansi, lanie/gambus pembuka dan gambus penutup. Fase saleum, dimaksudkan sebagai tahap memberi salam kepada syahi dan hadirin yang melihat pertunjukan itu, kemudian diikuti fase likok yaitu fase penetuan gerakan yang akan ditampilkan dan saman dimana beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Selain itu ada juga fase kisah dan lainnya, dalam fase itu dapat dilantunkan syair yang berupa cerita-cerita sejarah, pesan-pesan agama Islam, pesan adat atau hadihmaja, serta pesan-pesan yang bersifat pembakar semangat.
Dulunya di zaman peperangan Seudati sering digunakan untuk membangkitkan semangat perang sabil melawan kaphe penjajah. Di antara syair yang sering dilantunkan adalah syair yang dipetik dalam Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil). Berikut sepenggal syair Hikayat Prang Sabi.[6]
Beu e’ muwoe Raja Aceh
Gaseh Allah ade neubri
Miseue raja nyangka dilee
Ade meu thee hana sakri

Po teumeureuhom raja dilee
Neu prang sitree jeueb-jeueb nanggri
Bandum kaphe talo neu prang
Panglima prang that beurahi

Nanggroe Aceh sikeulian
Pidie meunan he ya Rabbi
Lom Meureudu ngon peusangan
Sawang meunan teuh Lhokseumawe
Teulheueh nyan Pase lom Geudong
Kaphe Bajeung bek le neubri

Neubri beuhabeh sikeulian
Beu teureuban sampoe Idi
Neubri beugadoh dum kaphe nyan
Bek ji kaman nanggroe ini

Terjemahannya:
Agar kembali raja Aceh
Karunia Allah adil diberi
Seperti raja terdahulu
Adil masyhur tak terperi

Baginda Marhum raja terdahulu
Memerangi seteru di setiap negeri
Sekalian kafir kalah berperang
Panglima perang sangat berani

Negeri Aceh sekalian
Pidie pun demikian o ya Rabbi
Juga Meureudu dengan Peusangan
Sawang pun sama dengan Lhokseumawe
Setelah itu Pase dan Geudong
Kafir jahannam jangan dibiarkan lari kemari

Semuanya engkau musnahkan
Agar terbang sampai ke Idi

Semoga lenyap kafir itu
Tidak berdiam di negeri ini

Syair-syair ini menggambarkan kecintaan rakyat Aceh terhadap tanah air. Pada dasarnya nasionalisme rakyat Aceh didasari oleh motivasi cinta kepada agama dan tanah air. Dilihat dari beberapa wilayah yang disebutkan dalam syair menunjukkan bahwa rakyat Aceh tidak hanya mencintai wilayah tertentu namun mencintai seluruh negeri yang menjadi bagian dari wilayahnya. Ketika Aceh menjadi wilayah Kesultanan Iskandar Muda, bisa saja wilayah yang dibela itu adalah semenanjung kesultanan, namun pada masa sekarang wilayah yang dimaksud tentulah Indonesia secara menyeluruh.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan dan dinamika di Aceh, syair-syair Seudati dapat disesuaikan. Seorang syeikh ataupun aneuk syahi yang handal dapat menciptakan syair-syair secara spontan sesuai dengan kondisi saat tampil. Dalam pertunjukan dalam rangka memperingati hari besar nasional syairnya biasanya disesuaikan. Misalnya, pada peringatan tujuh belasan, hari kemerdekaan Republik Indonesia, syair diisi dengan semangat nasionalisme dengan bermacam-macam bentuk syair yang dapat menambah kecintaan masyarakat terhadap bangsanya.
Hal ini menunjukkan bahwa melalui Seudati sikap nasionalisme dapat ditumbuh-kembangkan. Karena gerakannya yang harmonis dan patriotik secara psikis dapat menyampaikan pesan itu dengan lebih berkesan.

2. Tari Saman
Dalam seni tari tradisional lainnya, tersebut pula salah satu tari konvensional yang cukup populer yaitu Tari Saman. Saman adalah tari yang ditampilkan dengan kegembiraan. Kata Saman berasal dari kosa kata bahasa Arab yaitu samaniah yang berarti delapan.[7] Tarian ini memang ditarikan oleh delapan orang penari atau lebih dan dua orang syekh yang bertugas melantunkan syair-syair pengiring gerakan Tari Saman atau yang biasa disebut Ratoh yang berarti nyanyian.
Tari Saman merupakan tarian Aceh terpopuler di antara tarian-tarian yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam. Tari Saman pada awalnya bernama Tari Rateb Meusekat yang ditampilkan oleh sejumlah perempuan dan nikmati oleh para perempuan pula. Sedangkan Saman ditarikan oleh sejumlah laki-laki. Tari ini dimainkan oleh pemuda-pemuda di dataran tinggi Gayo. Namun dalam perkembangannya tarian Aceh yang ditarikan dengan posisi duduk, mengandalkan kecepatan dan keharmonisan gerak dikenal dengan Tari Saman, walaupun ditarikan oleh laki-laki ataupun perempuan.
“Apalah arti sebuah nama”, dalam hal ini pepatah itu sepertinya cukup tepat. Mengingat pesatnya perkembangan Tari Saman tersebut, dengan kreasi yang semakin menakjubkan, salut tetap tertujukan untuknya.
Popularitas tarian yang satu ini telah merambah seluruh pelosok negeri dan dunia. Bahkan para peneliti seni dari luar negeri ada yang dating khusus untuk meneliti tarian yang satu ini.
Popularitas itu pula yang kemudian memunculkan rasa nasionalisme pada diri anak negeri. Nasionalisme tersebut termotivasi dari rasa bangga terhadap budaya bangsa. Tari Saman tidak harus ditarikan oleh anak Aceh, tapi juga dimainkan oleh sejumlah anak di daerah lain. Bahkan hampir semua SMA di daerah Jabodetabek mempunyai kegiatan ekstra kurikuler tari Saman. Hampir tiap minggu selalu ada festival yang diikuti belasan hingga puluhan SMA. Karena tradisi festival ini, banyak variasi gerakan tercipta.
Hal ini menujukkan bahwa Saman tidak hanya milik Aceh tapi milik Indonesia. Setiap anak bangsa di negeri ini dapat bangga menyebutkan Tari Saman adalah salah satu seni budaya Indonesia. Jadi ketika Saman ditampilkan di Eropa, Asia, Amerika, Australia dan afrika dan dibanjiri pujian kekaguman itu tidak hanya ditujukan pada seni budaya Aceh, akan tetapi seni budaya Indonesia.
Bayangkan jika tarian ini diklaim oleh bangsa lain sebagai seni budayanya, tak hanya Aceh yang bergolak namun juga se-Indonesia. Mengapa? Karena nilai nasionalisme pasti ada dalam diri setiap anak bangsa di negeri ini.

Penutup
Merujuk pada fenomena tersebut diatas kiranya sangat tidak pantas bila masih ada di kalangan generasi muda apalagi di Aceh sendiri menganggap seni tari tradisional sebagai performance yang kampungan. Apakah ini yang membuat perkembangan Saman terbatas di Nanggroe Aceh Darussalam?
Marzuki, seorang pelatih tari tradisional Aceh yang berdomisili di Jakarta menyebutkan bahwa di luar Aceh, Saman berkembang dengan baik, ada variasi gerakan yang inovatif tercipta. Hal itu disebabkan oleh banyak diselenggara-kannya festival-festival Tari Saman yang membuat penarinya menjadi lebih kreatif dan kompetitif.[8] Sedangkan di Aceh kegiatan semacam itu sangat jarang diselenggarakan.
Namun perlu diperhatikan bahwa penanaman nasionalisme kepada generasi muda dapat ditanamkan melalui seni. Seudati dan Saman hanya sampel sederhana. Masih banyak seni budaya lainnya yang dapat dijadikan media untuk menanamkan nasionalisme semenjak dini. [ehz]
[1] Sulfikar Amir, Epistimologi Nasionalisme, Rubrik Bentara Kompas, http://www.kompasonline. com/bentara/ epistimologi-nasionalisme
[2] Ibid.
[3]Nasionalisme, Artikel Kategori: Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme, accessed on 22 April 2008.
[4] Ade Sulaiman, dkk., Menunjukkan semangat kebangsaan, http://www.Isnanimurti’s Weblog.htm. accessed on 1 Agustus 2008
[5] T. Alibasjah Talsya, Atjeh Jang Kaya Budaja, Pustaka Meutia, Banda Atjeh, 1972, hal. 10

[6] Anita T. Iskandariata, M.Hum, Makna Hikayat Perang Sabil di Aceh, Ar Raniry Press, Banda Aceh, 2004, hal. 57
[7] Ibid. hal 22.
[8] Amir Sodikin, Tari Saman: http://www. kompas.com/kompas-cetak/0612/01/Social Imagination.htm

1 komentar:

  1. bgmn mnrt saudari ttg kesalah pahaman antara tari saman dng tari rateb meusekat?
    sbnrx yg dikenal o dunia internasional itu u p'tama kalix tarian apa?

    BalasHapus