Rabu, 08 Oktober 2014

Cerita Dibalik Nama Terbangan dan Kluet



Cerita Dibalik Nama Terbangan dan Kluet

 Pendahuluan
Toponimi selalu menarik untuk dibahas, banyak hal unik yang dapat diungkap dibalik penamaan suatu daerah. Toponimi sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu istilah yang digunakan untuk bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya.[1] Dalam hal ini, toponimi Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menyimpan banyak cerita yang hidup melalui tradisi lisan di sana. Terbangan dan Kluet menjadi topik yang akan dibahas untuk mengungkap asal usul dan penamaannya dalam kontek mitologi dan referensi ilmiah.
Terbangan, Desa Ladang Tuha Kemukiman Terbangan Kecamatan Pasie Raja merupakan salah satu daerah dalam Kabupaten Aceh Selatan, tepatnya 15 km sebelah selatan Kota Tapaktuan yaitu di kaki gunung terakhir dari Kecamatan Tapaktuan menuju kecamatan Pasie Raja. Daerah ini berada dipesisir dengan pemandangan laut yang indah. Sedangkan Kluet adalah daerah pemukiman masyarakat etnis Kluet yang terdiri atas empat kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan.
Dalam beberapa kondisi, selain data sejarah, cerita rakyat dapat dijadikan acuan dalam mengkaji toponimi suatu daerah karena sedikit banyaknya keterangan dalam sejarah memiliki kesamaan dengan cerita rakyat. Sebagaimana yang telah diketahui yaitu bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, bahkan cerita rakyat telah dimulai sejak manusia memiliki bahasa dan telah melintasi rentang waktu yang panjang. Cerita rakyat mengalami tranformasi dan regenerasi dari masa ke masa, karena cerita rakyat umumnya diwariskan melalui seni tutur atau tradisi lisan.
Untuk menganalisis toponimi Terbangan ini, simaklah Legenda Gunung Terbang yang menjadi asal-usul Kemukiman Terbangan berikut ini:

Legenda Gunung Terbangan[2]
Dahulu Kala di Pesisir Selatan terdapat beberapa kerajaan kecil; diantaranya tersebutlah Kerajaan Sawang dan Kerajaan Kluet. Masing-masing kerajaan memiliki kesaktiannya selain fanatik dalam agamanya yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Konon saat itu, Kerajaan Sawang memperingati haul atau hari jadinya. Untuk itu ditampilkan berbagai pertunjukan yang bersifat hiburan. Pada perhelatan itu turut diundang Raja Kluet. Ia hadir memenuhi undangan didampingi beberapa orang pengawalnya. Pada perhelatan itu pula Raja Kluet ditantang untuk bertaruh sabong manok (sabung ayam). Tantangan itu disambut baik oleh sang Raja Kluet. Bahkan sebelum berangkat ia telah melakukan persiapan, Raja Kluet memerintahkan kepada para pengawalnya agar mereka berbohong kepada Raja Sawang dengan mengatakan bahwa Raja Kluet membawa sebotol emas sebagai taruhan dalam sabong manok tersebut. Sedangkan Raja Sawang mempertaruhkan sebagian negeri kekuasaannya.
Dengan disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Sawang, Sabong Manok antara Raja Kluet yang berambisi mendapatkan sebagian negeri di bawah Kekuasaan Kerajaan Sawang dengan Raja Sawang yang berambisi memenangkan sebotol emas, pun digelar. Masing-masing pendukung bersorak-sorai untuk kemenangan ayam jagoannya yang tengah berlaga. Akhirnya ayam Raja Sawang keluar sebagai pemenangnya. Sebagaimana kesepakatan, Raja Sawang menagih sebotol emas yang telah dipertaruhkan. Dengan perasaan sedih dan kecewa Raja Kluet mengajak Raja Sawang untuk mengambil emas tersebut yang katanya ia simpan atau ia timbun di dalam pasir di pantai dekat Krueng Sawang.
Dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan sebotol emas tersebut, Raja Kluet berbisik kepada pengawalnya, “lari dan pulanglah kalian ke negeri kita, biarkan saya yang mati di sini, asalkan kalian selamat.” Maka larilah para pengawal menyelamatkan diri. Setelah itu Raja Kluet pun lari ke arah berlawanan, yaitu menuju sebuah bukit dekat Krueng Sawang. Setibanya di puncak bukit itu, bertiuplah angin topan diiringi suara gemuruh. Melihat suasana yang demikian itu Raja Kluet pun berdoa kepada Allah SWT, agar ia diselamatkan dari marabahaya. Doanya pun terkabul, bukit itu terangkat dan terbang ke arah Selatan, yaitu menuju Kerajaan Raja Kluet. Dalam perjalannya sebongkah batu besar jatuh di Desa Damar Tutong Kecamatan Samadua dan sampai saat ini diabadikan dengan nama Batee Tunggay yang berarti batu tunggal.
Bukit itu tiba diperbatasan kecamatan Tapaktuan yang artinya Sang Raja Kluet telah berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kluet. Merasa dirinya aman maka turunlah ia dari bukit tersebut dan pulang ke kerajaan. Di sana ia telah ditunggu oleh para pengawalnya yang sejak awal telah meyakini bahwa rajanya akan dapat mengatasi masalahnya.
Namun tidak selesai sampai di situ, tentu saja pihak Kerajaan Sawang datang ke Kerajaan Kluet untuk menuntut haknya. Perselisihan pun tidak terhindarkan. Kerajaan Sawang menunjukkan pertentangannya dengan Kerajaan Kluet.

Analisis Toponimi
Legenda di atas menunjukkan bahwa ada gunung yang terbang. Ini menyiratkan bahwa wilayah yang dikenal dengan terbangan dahulunya tidak memiliki gunung yang sekarang dilalui oleh masyarakat dari Pasie Raja menuju Tapaktuan. Gunung itu ada karena berpindahnya gunung dari Sawang. Gunung yang terbang untuk menyelamatkan jiwa Raja Kluet dari kejaran Raja Sawang.
Cerita yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Pasie Raja ini menunjukkan adanya konflik yang melatarbelakangi bentukan alam yang kemudian menjadi salah satu wilayah di daerah tersebut. Sudah menjadi karakteristik sebuah legenda yaitu bahwa cerita legenda tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Legenda ini pula yang menjadi dasar asal-usul Desa Terbangan yang memiliki potensi wisata pantai yang indah.

Tanoh Kluwat
Terbangan adalah wilayah timur terluar kekuasaan kerajaan Kluet pada masa itu. Menurut Bukhari dkk dalam bukunya berjudul Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Kerajaan Kluet itu diperkirakan sudah ada sejak Abad I Masehi.[3] Akan tetapi kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Laut Bangko. Puing-puing bekas kerajaan tersebut masih ada di sekitar Danau Laut Bangko di Belantara Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di bagian barat dari kawasan perbatasan Kecamatan Bakongan dengan Kecamatan Kluet Timur, sekarang. Disebutkan pula di buku tersebut bahwa Kluet pernah menjadi kerajaan Megah.[4] Raja terakhirnya bernama Malinda dengan permaisuri bernama Rindi.
Kerajaan Laut Bangko itu karam oleh banjir besar. Satu versi cerita rakyat menyebutkan bahwa ketika Raja Malinda meninggal dunia, permaisuri menangis tiada habisnya meratapi kematian suaminya. Airmatanyalah yang menenggelamkan Kerajaan Laut Bangko. Versi lainnya, Kerajaan Laut Bangko memang tenggelam karena banjir besar. Sebagian besar rakyatnya ikut karam di sana, sebagian kecil lainnya bertahan hidup dan selamat hingga daratan yang kebetulan saat hanyut dapat meraih batang cebero (gelagah), deski (sangar), dan lain-lain sebagai pelampung, mengapung dibawa arus. Mereka yang selamat selanjutnya melakukan pengembaraan untuk mendapatkan tempat pemukiman untuk menetap di tempat yang baru.[5] Mereka menjadi masyarakat nomaden hingga tiba ke tanah Karo, Alas, Singkil dan Kluet sekarang. Secara geografis, keempat daerah tersebut memang berbatasan dengan lokasi Laut Bangko.
Di Tanah Alas, masyarakat memiliki kisah Kerajaan Laut Bangko dalam versi yang berbeda. Zainuddin dalam bukunya berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara menyebutkan bahwa pada tanggal 7 Januari 1960 beliau bertemu Abdul Samad gelar penghulu Tebing Datar Tanah Alas yang berusia 75 tahun. Penghulu tersebut menceritakan bahwa pada zaman purbakala ada seorang Raja di Negeri Kluet Aceh Selatan, beranak 7 orang anak laki-laki dan memelihara seekor anjing besar. Setelah ayah mereka meninggal, anak tertua menginginkan menjadi raja menggantikan ayahnya, tetapi tidak disetujui oleh adik-adiknya. Masing-masing mereka juga memiliki hasrat yang sama untuk memimpin kerajaan. Akhirnya tibalah mereka pada satu kesimpulan yakni bahwa tidak satupun diantara mereka diangkat menjadi Raja. Maka anjing peliharaan ayahnyalah yang dinobatkan menjadi raja.
Saat akan dinobatkan, tiba tiba datanglah seorang aulia bertongkat, lalu dipancangkannya tongkatnya ke tanah. Ia menasehati agar jangan mengangkat anjing menjadi raja tapi hendaklah salah satu dari mereka. Keenam anak raja tetap tidak dapat menerima bila saudara tertua mereka dijadikan raja, mereka bahkan mengancam akan membunuh aulia tersebut. Sang aulia hanya mengingatkan bahwa bila keinginan mereka tetap dilaksanakan maka kelak bencana besar akan melanda kerajaan mereka. Lalu sang Aulia mencabut tongkatnya dan menghilang diikuti badai dan air yang keluar deras dari lubang bekas tancapan tongkat sang aulia.  Demikian kerasnya hingga memporak-porandakan dan menenggelamkan seluruh kerajaan. Di sana lah tempat yang kini dikenal dengan nama Laut Bangko. Sebagian rakyat yang sempat menyelamatkan diri mencari daratan baru, mereka lari hingga ke Singkil, Karo, Dairi, Bakhara, Alas dan lain-lain.
Dua kisah di atas berbeda namun menyiratkan kesamaan yaitu karamnya Kerajaan Kluet. Dari sanalah nama “KLUET” itu mucul. Ada yang mengatakan kata itu berasal dari kata “Khalut” yang artinya bertapa. Kata ini menunjukkan aulia yang nasehatnya diabaikan. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “Kaluat” yang artinya menjijikkan. Yang lainnya juga menafsirkan dengan kata Kalut, artinya kacau yang menyiratkan kekacauan yang melanda kerajaan ketika datangnya  banjir besar itu. Akan tetapi hingga saat ini belum ada kalangan budayawan dan sejarawan yang dapat memastikan mana yang menjadi asal kata Kluet.
Kendati demikian, cerita-cerita di atas dapat menggambarkan keberadaan masyarakat Kluet yang terus berkembang hingga kini.persebaran masyarakatnya  ke beberapa daerah juga dapat dengan mudah diketahui dari nama marga yang disandangnya seperti Sebayang, Selian, Mencawan, Pinem, dan Bangko yang juga ada di beberapa wilayah lainnya di Aceh.

Penutup
Teori yang berpendapat bahwa cerita rakyat kadang kala dapat ikut menyumbang data kesejarahan, tidak dapat diremehkan terlebih ketika data ilmiah sulit diperoleh ditambah pula tidak adanya narasumber kunci yang tepat. Meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun  hal itu dapat menjadi data awal untuk penggalian lebih lanjut.
Mengingat Kluet adalah etnis yang unik dengan karakter masyarakatnya yang berbeda, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan langkah-langkah yang tepat untuk mengungkap sejarah penamaan dan asal-usul Kluet beserta wilayah-wilayah yang pernah berada dalam wilayah kekuasaannya seperti halnya penamaan Desa Terbangan.





[1] Toponimi, id.wikipedia.org/wiki/toponimi diakses tanggal 2 Mei 2013.
[2] Nasruddin, Legenda: Gunung Terbang, http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacacerpen&cerpen id =7, diakses tanggal 8 Agustus 2008
[3] Bukhari RA, dkk. 2008. Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Ikatan Kekeluargaan Masyarakat Kluet (IKMK) Banda Aceh. hlm. 12.
[4] Ibid.
[5] Ibid.