Kamis, 18 Desember 2008

Budaya Batak

“HUTAGALUNG” DAN SIBOLGA

Oleh: Essi Hermaliza, S.Pd.I

Pendahuluan
Hutagalung, Tanjung, Siregar, Nasution, Lubis dan lain-lain adalah nama-nama marga yang tertera pada nama belakang sebagian masyarakat di Sumatera Utara. Marga merupakan identitas kekerabatan dalam keluarga yang dapat menunjukkan asal-usul keluarga.
Marga mempunyai peranan penting dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam pelaksanaan berkehidupan, berkeluarga, dan bermasyarakat yang merupakan tata aturan kelembagaan dalam adat, sehingga seseorang tersebut dapat berperilaku dan bertutur dengan baik.
Marga muncul dalam suatu kelompok tertentu di mana setiap keturunan dalam kelompok itu menyandang marga yang sama. Dalam hal ini, marga yang digunakan mengikuti garis ayah atau dikenal dengan istilah patrilineal. Jadi marga yang boleh disandangkan pada nama akhir seseorang adalah marga yang sama dengan ayahnya.
Hutagalung adalah salah satu marga yang memiliki kelompok yang cukup besar di Sumatera Utara atau tepatnya di Kota Sibolga. Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42' - 1 46' LU dan 98 44' - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara sungai-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik. Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan 16 kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan.[1]
Dari Sibolga ini lah marga Hutagalung berasal dan berkembang menjadi satu komunitas yang besar dan terpandang. Berikut ulasan tentang keberadaan komunitas Hutagalung di Sumatera Utara.

Asal Muasal “Hutagalung”
Hutagalung merupakan salah satu marga tertua di Sibolga. Menurut seorang penulis sejarah Sibolga, Tengku Luckman Sinar, SH., seorang peneliti Belanda bernama EB Kielstra dalam salah satu penelitiannya menemukan bahwa sekitar tahun 1700 dari Negeri Silindung bernama Tuanku Dorong Hutagalung mendirikan Kerajaan Negeri Sibogah, yang berpusat di dekat Aek Doras. Dalam catatan EB Kielstra ditulis tentang Raja Sibolga: "Disamping Sungai Batang Tapanuli, masuk wilayah Raja Tapian Nauli berasal dari Toba, terdapat Sungai Batang Sibolga, di mana berdiamlah Raja Sibolga”.[2]
Penetapan tahun 1700 itu diperkuat analisis tingkat keturunan yakni bahwa Marga Hutagalung yang telah berdiam di Sibolga sudah mencapai sembilan keturunan. Kalau jarak kelahiran antara seorang ayah dengan anak pertama adalah 33 tahun (angka ini adalah rata-rata usia menikah menurut kebiasaan orang Batak) lalu dikalikan jumlah turunan yang sudah sembilan itu, itu berarti sama dengan 297 tahun. Maka kalau titik tolak perhitungan adalah tahun 1998, yaitu waktu diselenggarakannya Seminar Sehari Penetapan Hari Jadi Sibolga pada tanggal 12 Oktober 1998, itu berarti ditemukan angka 1701 tahun.[3]

Gambaran Umum Kota Sibolga
Nama Sibolga berasal dari kata “Sibalgai” yang artinya kampung atau huta untuk orang yang tinggi besar. Konon katanya orang yang membuka Sibolga yang bermula di perkampungan Simaninggir bernama Ompu Datu Hurinjom memiliki postur tubuh tinggi besar.[4] Adalah sebuah pantangan bagi masyarakat Batak untuk menyebut nama seseorang yang dituakan dan dihormati secara langsung maka untuk menyebut nama kampung yang dibuka oleh Ompu Datu Hurinjom dipakailah sebutan "Sibalgai".
Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42' - 1 46' LU dan 98 44' - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan enam belas kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan.[5]
Dilihat dari sudut pandang topografi, Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter, kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 persen sampai lebih dari 40 persen dengan rincian; kemiringan 0-2 persen mencapai kawasan seluas 3,12 kilometer persegi atau 29,10 persen meliputi daratan Sumatera seluas 2,17 kilometer persegi dan kepulauan 0,95 kilometer persegi; kemiringan 2-15 persen mencapai lahan seluas 0,91 kilometer persegi atau 8,49 persen yang meliputi daratan Sumatera seluas 0,73 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,18 kilometer persegi; kemiringan 15-40 persen meliputi lahan seluas 0,31 kilometer persegi atau 2,89 persen terdiri dari 0,10 kilometer persegi wilayah daratan Sumatera dan kepulauan 0,21 kilometer persegi; sementara kemiringan lebih dari 40 persen meliputi lahan seluas 6,31 kilometer persegi atau 59,51 persen terdiri dari lahan di daratan Sumatera seluas 5,90 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,53 kilometer persegi.[6]
Selain itu Kota Sibolga memiliki pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dari dan menuju pulau Nias.
Potensi utama perekonomian masyarakat di Sibolga bersumber dari bidang perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan, dan industri maritim.
Jadi, keberadaan Sibolga di Provinsi Sumatera Utara bukanlah merupakan sebuah wilayah kecil. Akan tetapi adalah salah satu kabupaten yang keberadaannya memiliki peranan penting di bidang kelautan, baik di daerah pesisir maupun Sumatera Utara secara menyeluruh.

Sibolga di Masa Lalu
Kesultanan Sibolga berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli.
Berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh.
Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera—Teluk Tapian Nauli—pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.[7]
Kehadiran dan gerak langkah Belanda dan Inggris di Teluk Tapian Nauli bisa dilihat dari beberapa kronologi peristiwa berikut ini:
1604: Perjanjian antara Aceh dengan Belanda, yaitu antara Sultan Iskandar dengan Oliver.
1632: Kapal Belanda mulai berhadapan dengan Inggris di Pantai Barat Sumatera dalam rangka kepentingan dagang.
1667: Belanda mendirikan benteng (loji) di Padang.
1668: Belanda mulai dengan politik adu domba, menghasut Tiku dan Pariaman lepas dari Aceh. Barus pro Pagaruyung diusir dari berbagai tempat.
1669: Setelah berkuasa di Sumatera Barat, Belanda mulai mengincar pesisir Tapanuli dan mendirikan loji di Barus.
1670: Karena keserakahan Belanda (VOC) dengan praktek dagangnya yang monopolistis, pemberontakan di Barus terhadap Belanda tidak dapat dielakkan dan terus meningkat. Raja Barus dibantu oleh adiknya Lela Wangsa berhasil mengusir Belanda dan menghancurkan loji Belanda.
1678: Belanda dapat membalas, namun pada ketika itu perang sengit antara Raja Barus dengan Belanda terus berkobar. Raja Barus melakukan taktik gerilya. Putera raja di Hulu berhasil membuhuh dokter Belanda dan seorang serdadu Belanda. Namun Belanda berhasil menangkap Raja I^ela Wangsa dan membuangnya ke Afrika Selatan.
1733: Belanda semakin merajalela dengan berhasilnya menangkap Raja Barus. Seterusnya bukan hanya Barus saja yang diserang, tapi Belanda juga menyerang Sorkam. Kolang dan Sibolga.
1734: Oleh karena Belanda telah melakukan penyerangan terhadap Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli, maka Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli mengkonsolidasikan diri, maka lahun ini terjadilah peperangan secara besar-besaran terhadap Belanda. Serangan datang dari Sibolga, Kolang, Sorkam dan Barus dipelopori anak Yang Dipertuan Agung Pagaruyung.
1735: Belanda terkejut dan kewalahan menghadapi peperangan ini. Belanda melakukan penelitian, dan ternyata diketahui bahwa semangat patriotisme yang dikobarkan dari Raja Sibolga itulah sumber kekuatan. Belanda ingin melampiaskan rasa penasarannya kepada Raja Sibolga, namun tidak berhasil, Antara 1755-1815 pesisir Pantai Barat Sumatera Utara, Teluk Tapian Nauli, berada di bawah pengaruh Inggris. Pada 1755 Inggris memasuki Tapian Nauli dan membuat benteng di Bukit Pulau Poncan Ketek (Kecil). Mereka mulai menguasai loji-loji Belanda dan markas Aceh yang berada di pesisir Barat Tapanuli.
1758: Pasukan Inggris mulai mengusir loji-loji Belanda dan juga markas Aceh dari pesisir barat Tapanuli. Silih berganti usir-mengusir antara Inggris dengan Belanda.
1761: Perancis meninggalkan Poncan. Kemudian Inggris datang bekerjasama dengan penduduk Tapian Nauli dan Sibolga.
1770: Karena suasana perdagangan mulai tenang, maka Inggris mendatangkan budak dari Afrika dan India untuk mengerjakan urusan dagang dan perkebunan Inggris. Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga merasa keberatan atas tindak tanduk Inggris ini.
1771: Stains East Indian Company Inggris di Tapanuli dinaikkan menjadi "Residency Tappanooly".
1775: Karena dagang Inggris mulai menurun karena tidak mendapat simpati dari Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga, maka Belanda mengambil kesempatan mengadakan perjanjian dagang dengan Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga.
1780: Puncak perselisihan antara Belanda dengan Inggris adalah persoalan monopoli garam. Kesempatan ini dipergunakan oleh Aceh untuk menyerang Inggris di Teluk Tapian Nauli. Aceh untuk sementara dapat menduduki Teluk Tapian Nauli, akan tetapi Inggris meminta bantuan dari Natal dan Inggris kembali menduduki Tapian Nauli (Poncan Ketek).
1786: Aceh kembali menyerang Inggris di Tapian Nauli. Serangan ini tidak berhasil karena Inggris meminta bantuan ke Natal.
1801: Jhon Prince ditetapkan menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Poncan Ketek. Sejak saat itu Poncan Ketek mulai ramai didatangi oleh orang Cina, India, dan lain-lain.
1815: Residen Jhon Prince mengadakan kontrak perjanjian dengan Raja-Raja sekitar Teluk Tapian Nauli, termasuk Raja Sibolga. Perjanjian ini disebut "Perjanjian Poncan" atau "Perjanjian Batigo Badusanak".
1825: Inggris menyerahkan Poncan kepada Belanda, sebagai realisasi Traktat London 17 Maret 1824.
1850: Belanda mulai menata pemukiman di Sibolga dengan menimbun rawa-rawa dan membuat parit-parit.
1851: Pengukuhan Adat Pusaka di Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya oleh Residen Tapanuli Conprus.[8]

Hutagalung dan Perniagaan
Eksistensi Marga hutagalung sangat diperhitungkan di Sibolga. Bahkan Sibolga identik dengan marga Hutagalung tersebut. Ketika pemerintah daerah menghitung usia Kota Sibolga dijelajahi dengan menghitung eksistensi marga Hutagalung tersebut yaitu dengan menganalisa silsilah keturunan Hutagalung di Sibolga.
Hutagalung adalah sekelompok warga yang cukup piawai dalam bidang perniagaan. Dalam kurun waktu 1513-1818, komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae dengan Sibolga yang menjadi daerah pesisir tempat keluar masuk komoditas ke tanah Batak selain Barus.
Komoditas yang dibawa dari pedalaman tanah Batak adalah hasil hutan. Sementara komoditas yang mereka bawa ke tanah Batak adalah garam, tekstil, perhiasan aksesoris, dan lain-lain. Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekspor kapur di Sumatera. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.[9] Selanjutnya warga Hutagalung yang menjadi perantara perniagaan dan mengirimnya melalui pelabuhan di Sibolga.
Para pedagang Hutagalung ini aktif menghadiri onan-onan yang menjadi pusat-pusat transaksi perdagangan di tanah Batak. Di setiap onan mereka mempunyai toko-toko untuk distribusi barang-barang sekaligus tempat pengumpul hasil hutan dari para petani. Alhasil pedagang Hutagalung menjadi makmur dengan tanah dan bangunan yang tersebar di mana-mana. Kelompok konglomerat Batak terbentuk melalui komunitas ini.

Agama
Komunitas Hutagalung adalah komunitas yang menganut Islam di Tanah Batak. Mereka menjadi komunitas Muslim Batak sudah sejak lama. Dapat dikatakan Islam berkembang di Sumatera Utara berawal dari Sibolga. Letaknya yang berada di daerah pesisir dan mengandalkan perniagaan sebagai mata pencaharian membuat warganya mudah menerima pengaruh dari luar. Dalam hubungannya dengan pedagang dari negara lain, tidak pula terhindarkan banyak pengaruh yang masuk ke daerah ini
Menurut catatan sejarah, pada tahun 921 H atau tahun 1514 M telah didirikan Mesjid Syiah di kampung Hutagalung, Horian di Silindung. Komunitas Hutagalung yang menguasai alur perdagangan di teluk Sibolga, sampai ke daerah Silindung, Humbang dan Pahae ini, mendirikan banyak mesjid di Silindung. Diyakini bahwa Aliran Syiah berkembang lebih pesat dari pada mazhab-mazhab mainstream Indonesia dan menjadi kepercayaan kebanyakan marga Hutagalung yang dipengaruhi oleh paham tasawuf syattariyah dan ajaran-ajaran yang menyerupai Syiah. Pada tahun 1285 M, ajaran Islam Syafi’i mulai masuk ke Sumatera khususnya wilayah sekitar Pase, Aceh. Dan berkembang pula hingga ke Sumatera Utara.[10]
Seorang tokoh Hutagalung yang terkenal dan terdokumentasi adalah Amir Hussin Hutagalung, bergelar Tuanku Saman lahir 1819 dan meninggal tahun 1837 yang semasa dengan Tuanku Rao; Faqih Amiruddin. Ayah dari Tuanku Saman adalah Khalifah Abdul Karim Hutagalung yang menjadi imam besar mesjid di Silindung. Namun pada tahap ini komunitas Hutagalung mulai meninggalkan praktek syiah dan beralih ke sunni seiring dengan redupnya pengaruh syiah di Indonesia.[11]

Penutup
Warga Hutagalung dikenal sebagai pedagang yang menguasai jalur-jalur penting perdagangan di tanah Batak. Komunitas Hutagalung juga dikenal sebagai komunitas maritim yang menguasai jalur pelayaran di pusat-pusat perekonomian nusantara saat itu. Mulai dari Sibolga, Malaka dan Riau.
Marga Hutagalung hanya sebagian kecil dari banyak marga dan komunitas lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Mereka terus eksis sampai sekarang.
Komunitas tersebut juga adalah komunitas perantau yang pandai mengadu nasib di negeri orang. Ada yang merantau sampai ke Negeri Jiran, Malaysia dan ada pula yang merantau hingga ke pulau Jawa. Jiwa masyarakat pesisir yang tangguh membuat mereka dapat bertahan. Sampai sekarang marga Hutagalung yang melekat di akhir nama seseorang tak hanya ada di Sibolga tapi ada pula di daerah lain, sehingga sering didengar oleh publik. Akan tetapi jika dilihat dari silsilah keturunan, maka pada akhirnya akan ditemukan bahwa mereka adalah para keturunan komunitas Hutagalung yang ada di Sibolga. Karena dari sinilah “Hutagalung” berasal. [ehz]
[1] http://www.wikipedia bahasa Indonesia. ensiklopedia bebas.htm. diakses pada tanggal 16 September 2008.
[2] Kesultanan Sibolga, http://sibolga. blogspot.com/2006/12/sultan-hutagalung. html diakses pada tanggal 20 September 2008.
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Kota Sibolga, http://www.wikipedia Indonesia.ensiklopedi bebas.com diakses tanggal 1 September 2008.
[6] Ibid.
[7] Kesultanan Sibolga, http://sibolga. blogspot.com/2006/12/sultan-hutagalung. html diakses pada tanggal 20 September 2008.

[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.

[11] Ibid.

2 komentar:

  1. judi sabung ayam
    Komunitas Hutagalung adalah komunitas yang menganut Islam di Tanah Batak

    BalasHapus
  2. ZeusBola - Situs Sabung Ayam, Casino, dan Slot Terpercaya
    Menerima Deposit via Pulsa Tanpa Potongan
    Dapatkan Bonus 7x Win Beruntun Hingga 5jt
    Pendaftaran : http://zeusbola1.com

    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
    Whatsapp : 0822 7710 4607

    Daftar S128 Menggunakan Bank BTPN Jenius

    BalasHapus