Rabu, 08 Oktober 2014

Cerita Dibalik Nama Terbangan dan Kluet



Cerita Dibalik Nama Terbangan dan Kluet

 Pendahuluan
Toponimi selalu menarik untuk dibahas, banyak hal unik yang dapat diungkap dibalik penamaan suatu daerah. Toponimi sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu istilah yang digunakan untuk bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya.[1] Dalam hal ini, toponimi Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menyimpan banyak cerita yang hidup melalui tradisi lisan di sana. Terbangan dan Kluet menjadi topik yang akan dibahas untuk mengungkap asal usul dan penamaannya dalam kontek mitologi dan referensi ilmiah.
Terbangan, Desa Ladang Tuha Kemukiman Terbangan Kecamatan Pasie Raja merupakan salah satu daerah dalam Kabupaten Aceh Selatan, tepatnya 15 km sebelah selatan Kota Tapaktuan yaitu di kaki gunung terakhir dari Kecamatan Tapaktuan menuju kecamatan Pasie Raja. Daerah ini berada dipesisir dengan pemandangan laut yang indah. Sedangkan Kluet adalah daerah pemukiman masyarakat etnis Kluet yang terdiri atas empat kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan.
Dalam beberapa kondisi, selain data sejarah, cerita rakyat dapat dijadikan acuan dalam mengkaji toponimi suatu daerah karena sedikit banyaknya keterangan dalam sejarah memiliki kesamaan dengan cerita rakyat. Sebagaimana yang telah diketahui yaitu bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, bahkan cerita rakyat telah dimulai sejak manusia memiliki bahasa dan telah melintasi rentang waktu yang panjang. Cerita rakyat mengalami tranformasi dan regenerasi dari masa ke masa, karena cerita rakyat umumnya diwariskan melalui seni tutur atau tradisi lisan.
Untuk menganalisis toponimi Terbangan ini, simaklah Legenda Gunung Terbang yang menjadi asal-usul Kemukiman Terbangan berikut ini:

Legenda Gunung Terbangan[2]
Dahulu Kala di Pesisir Selatan terdapat beberapa kerajaan kecil; diantaranya tersebutlah Kerajaan Sawang dan Kerajaan Kluet. Masing-masing kerajaan memiliki kesaktiannya selain fanatik dalam agamanya yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Konon saat itu, Kerajaan Sawang memperingati haul atau hari jadinya. Untuk itu ditampilkan berbagai pertunjukan yang bersifat hiburan. Pada perhelatan itu turut diundang Raja Kluet. Ia hadir memenuhi undangan didampingi beberapa orang pengawalnya. Pada perhelatan itu pula Raja Kluet ditantang untuk bertaruh sabong manok (sabung ayam). Tantangan itu disambut baik oleh sang Raja Kluet. Bahkan sebelum berangkat ia telah melakukan persiapan, Raja Kluet memerintahkan kepada para pengawalnya agar mereka berbohong kepada Raja Sawang dengan mengatakan bahwa Raja Kluet membawa sebotol emas sebagai taruhan dalam sabong manok tersebut. Sedangkan Raja Sawang mempertaruhkan sebagian negeri kekuasaannya.
Dengan disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Sawang, Sabong Manok antara Raja Kluet yang berambisi mendapatkan sebagian negeri di bawah Kekuasaan Kerajaan Sawang dengan Raja Sawang yang berambisi memenangkan sebotol emas, pun digelar. Masing-masing pendukung bersorak-sorai untuk kemenangan ayam jagoannya yang tengah berlaga. Akhirnya ayam Raja Sawang keluar sebagai pemenangnya. Sebagaimana kesepakatan, Raja Sawang menagih sebotol emas yang telah dipertaruhkan. Dengan perasaan sedih dan kecewa Raja Kluet mengajak Raja Sawang untuk mengambil emas tersebut yang katanya ia simpan atau ia timbun di dalam pasir di pantai dekat Krueng Sawang.
Dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan sebotol emas tersebut, Raja Kluet berbisik kepada pengawalnya, “lari dan pulanglah kalian ke negeri kita, biarkan saya yang mati di sini, asalkan kalian selamat.” Maka larilah para pengawal menyelamatkan diri. Setelah itu Raja Kluet pun lari ke arah berlawanan, yaitu menuju sebuah bukit dekat Krueng Sawang. Setibanya di puncak bukit itu, bertiuplah angin topan diiringi suara gemuruh. Melihat suasana yang demikian itu Raja Kluet pun berdoa kepada Allah SWT, agar ia diselamatkan dari marabahaya. Doanya pun terkabul, bukit itu terangkat dan terbang ke arah Selatan, yaitu menuju Kerajaan Raja Kluet. Dalam perjalannya sebongkah batu besar jatuh di Desa Damar Tutong Kecamatan Samadua dan sampai saat ini diabadikan dengan nama Batee Tunggay yang berarti batu tunggal.
Bukit itu tiba diperbatasan kecamatan Tapaktuan yang artinya Sang Raja Kluet telah berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kluet. Merasa dirinya aman maka turunlah ia dari bukit tersebut dan pulang ke kerajaan. Di sana ia telah ditunggu oleh para pengawalnya yang sejak awal telah meyakini bahwa rajanya akan dapat mengatasi masalahnya.
Namun tidak selesai sampai di situ, tentu saja pihak Kerajaan Sawang datang ke Kerajaan Kluet untuk menuntut haknya. Perselisihan pun tidak terhindarkan. Kerajaan Sawang menunjukkan pertentangannya dengan Kerajaan Kluet.

Analisis Toponimi
Legenda di atas menunjukkan bahwa ada gunung yang terbang. Ini menyiratkan bahwa wilayah yang dikenal dengan terbangan dahulunya tidak memiliki gunung yang sekarang dilalui oleh masyarakat dari Pasie Raja menuju Tapaktuan. Gunung itu ada karena berpindahnya gunung dari Sawang. Gunung yang terbang untuk menyelamatkan jiwa Raja Kluet dari kejaran Raja Sawang.
Cerita yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Pasie Raja ini menunjukkan adanya konflik yang melatarbelakangi bentukan alam yang kemudian menjadi salah satu wilayah di daerah tersebut. Sudah menjadi karakteristik sebuah legenda yaitu bahwa cerita legenda tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Legenda ini pula yang menjadi dasar asal-usul Desa Terbangan yang memiliki potensi wisata pantai yang indah.

Tanoh Kluwat
Terbangan adalah wilayah timur terluar kekuasaan kerajaan Kluet pada masa itu. Menurut Bukhari dkk dalam bukunya berjudul Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Kerajaan Kluet itu diperkirakan sudah ada sejak Abad I Masehi.[3] Akan tetapi kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Laut Bangko. Puing-puing bekas kerajaan tersebut masih ada di sekitar Danau Laut Bangko di Belantara Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di bagian barat dari kawasan perbatasan Kecamatan Bakongan dengan Kecamatan Kluet Timur, sekarang. Disebutkan pula di buku tersebut bahwa Kluet pernah menjadi kerajaan Megah.[4] Raja terakhirnya bernama Malinda dengan permaisuri bernama Rindi.
Kerajaan Laut Bangko itu karam oleh banjir besar. Satu versi cerita rakyat menyebutkan bahwa ketika Raja Malinda meninggal dunia, permaisuri menangis tiada habisnya meratapi kematian suaminya. Airmatanyalah yang menenggelamkan Kerajaan Laut Bangko. Versi lainnya, Kerajaan Laut Bangko memang tenggelam karena banjir besar. Sebagian besar rakyatnya ikut karam di sana, sebagian kecil lainnya bertahan hidup dan selamat hingga daratan yang kebetulan saat hanyut dapat meraih batang cebero (gelagah), deski (sangar), dan lain-lain sebagai pelampung, mengapung dibawa arus. Mereka yang selamat selanjutnya melakukan pengembaraan untuk mendapatkan tempat pemukiman untuk menetap di tempat yang baru.[5] Mereka menjadi masyarakat nomaden hingga tiba ke tanah Karo, Alas, Singkil dan Kluet sekarang. Secara geografis, keempat daerah tersebut memang berbatasan dengan lokasi Laut Bangko.
Di Tanah Alas, masyarakat memiliki kisah Kerajaan Laut Bangko dalam versi yang berbeda. Zainuddin dalam bukunya berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara menyebutkan bahwa pada tanggal 7 Januari 1960 beliau bertemu Abdul Samad gelar penghulu Tebing Datar Tanah Alas yang berusia 75 tahun. Penghulu tersebut menceritakan bahwa pada zaman purbakala ada seorang Raja di Negeri Kluet Aceh Selatan, beranak 7 orang anak laki-laki dan memelihara seekor anjing besar. Setelah ayah mereka meninggal, anak tertua menginginkan menjadi raja menggantikan ayahnya, tetapi tidak disetujui oleh adik-adiknya. Masing-masing mereka juga memiliki hasrat yang sama untuk memimpin kerajaan. Akhirnya tibalah mereka pada satu kesimpulan yakni bahwa tidak satupun diantara mereka diangkat menjadi Raja. Maka anjing peliharaan ayahnyalah yang dinobatkan menjadi raja.
Saat akan dinobatkan, tiba tiba datanglah seorang aulia bertongkat, lalu dipancangkannya tongkatnya ke tanah. Ia menasehati agar jangan mengangkat anjing menjadi raja tapi hendaklah salah satu dari mereka. Keenam anak raja tetap tidak dapat menerima bila saudara tertua mereka dijadikan raja, mereka bahkan mengancam akan membunuh aulia tersebut. Sang aulia hanya mengingatkan bahwa bila keinginan mereka tetap dilaksanakan maka kelak bencana besar akan melanda kerajaan mereka. Lalu sang Aulia mencabut tongkatnya dan menghilang diikuti badai dan air yang keluar deras dari lubang bekas tancapan tongkat sang aulia.  Demikian kerasnya hingga memporak-porandakan dan menenggelamkan seluruh kerajaan. Di sana lah tempat yang kini dikenal dengan nama Laut Bangko. Sebagian rakyat yang sempat menyelamatkan diri mencari daratan baru, mereka lari hingga ke Singkil, Karo, Dairi, Bakhara, Alas dan lain-lain.
Dua kisah di atas berbeda namun menyiratkan kesamaan yaitu karamnya Kerajaan Kluet. Dari sanalah nama “KLUET” itu mucul. Ada yang mengatakan kata itu berasal dari kata “Khalut” yang artinya bertapa. Kata ini menunjukkan aulia yang nasehatnya diabaikan. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “Kaluat” yang artinya menjijikkan. Yang lainnya juga menafsirkan dengan kata Kalut, artinya kacau yang menyiratkan kekacauan yang melanda kerajaan ketika datangnya  banjir besar itu. Akan tetapi hingga saat ini belum ada kalangan budayawan dan sejarawan yang dapat memastikan mana yang menjadi asal kata Kluet.
Kendati demikian, cerita-cerita di atas dapat menggambarkan keberadaan masyarakat Kluet yang terus berkembang hingga kini.persebaran masyarakatnya  ke beberapa daerah juga dapat dengan mudah diketahui dari nama marga yang disandangnya seperti Sebayang, Selian, Mencawan, Pinem, dan Bangko yang juga ada di beberapa wilayah lainnya di Aceh.

Penutup
Teori yang berpendapat bahwa cerita rakyat kadang kala dapat ikut menyumbang data kesejarahan, tidak dapat diremehkan terlebih ketika data ilmiah sulit diperoleh ditambah pula tidak adanya narasumber kunci yang tepat. Meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun  hal itu dapat menjadi data awal untuk penggalian lebih lanjut.
Mengingat Kluet adalah etnis yang unik dengan karakter masyarakatnya yang berbeda, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan langkah-langkah yang tepat untuk mengungkap sejarah penamaan dan asal-usul Kluet beserta wilayah-wilayah yang pernah berada dalam wilayah kekuasaannya seperti halnya penamaan Desa Terbangan.





[1] Toponimi, id.wikipedia.org/wiki/toponimi diakses tanggal 2 Mei 2013.
[2] Nasruddin, Legenda: Gunung Terbang, http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacacerpen&cerpen id =7, diakses tanggal 8 Agustus 2008
[3] Bukhari RA, dkk. 2008. Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Ikatan Kekeluargaan Masyarakat Kluet (IKMK) Banda Aceh. hlm. 12.
[4] Ibid.
[5] Ibid.

Minggu, 30 Juni 2013

Next Entry Report

Still in Progress
Hasil Penelitian 2013
1. Simbol dan Makna Kasab di Aceh Selatan
2. Nilai- Nilai Budi Pekerti Yang Terkandung dalam Cerita Rakyat Melayu di Sumatera Utara
3. Inventarisasi Aspek Tradisi Dalam Arsitektur Tradisional: Istana Maimoon

Minggu, 21 Desember 2008

Cerita Rakyat dari Aceh Barat Daya


SI TOENTONG GAPU

Tipu muslihat, kapanpun dan dimana pun selalu mebawa petaka bagi pelakunya.
Sesuatu yang didapatkan melalui ketidakbenaran, apalagisampai merugikan orang lain
pasti hanya akan membawa bencana. Berikut ini adalah satu dari sekian banyak
cerita yang menyodorkan hikmah dibalik keburukan dan kesabaran serta interpretasi
akan ganjarannya.

Meunurot haba jameun, dile udep saboh keuluarga. Lam nyan na sidroe ayah geuhoi Sarong, na sidroe poma ngon limong droe aneuk, dua droe inong, lhee droe agam. Nyang tuha geuboh nan Mariam, nyang keudua nan jih Si Rajali, keulhee Si Baka, keupeut Si Salam, nyang tulot geubri nan Si Safa. Keu udep Siuroe-uroe gobnyan meulampoh bak bineh rumoh, salangkan eungkot geukawee bak krueng to rumohnyan teuma.
Si Mariam leupah brok rupa. Idong jih lagee peuleupeuek u, bibi jih teubai, kulet jih itam lagee punggong kanot, peurangeu jih pih saban brok ngon rupa. Sapeue han ditem, bah that ka geuyue lee ma jih pih han dileungoe. Sabab nyan jih digala “Si Toentong Gapu.”
Ayah ngon poma sep weueh hatee bak geupikee si Mariam, seula-en rupa ngon akai brok, jih pih kuat that seumajoh, kayem that jipeuabeh teumon bu adoe-adoe jih. Ateuh hai nyan, jih han dithee droe bak keulakuan jahe. Peulom adak jikheun keu droe jih, sang hana laen leubeh tari di bak droe jih lam donyanyoe. Lam haba jih, sang singoh na sidroe Raja neuteuka keunan, neutueng jih, geuba u meuligoe keujeut peurumoh Raja. Hana buet laen nibak meucet langet saban uroe. Rayeuk that lumpoe juet keu putroe.
Meupaloe, buet Si Toetong Gapu maken peususah ureung chik. Na padup thon lheueh nyan, teudeungo haba na sidroe Raja muda seudang neuteuka u gampong nyan. Teudeungoe keuh bak Si Toetong Gapu habanyan buno, kon wayang seunang hatee jih, “nyoe beutoi lagee lon pinta, Raja nyan teuka keumeung jak tueng lon jak u meuligoe neuk dipeusunteng jeut keu putroe,” nyan keu haba jih bak ureueng gampong.
Rombongan Raja pih jiteuka. Ubee gampong ka geupeungui panji keu geusambot Raja baro nyan. Raja troh ngon ulee balang, meuntroe, ngon dayang-dayang meuligoe. Raja geusambot lee keuchik, peutua adat ngon awak gampong seureuta. Tiba-tiba, Si Toetong Gapu maju u keu Raja “Ampon Tuanku, hana salah lhee, lon keuh putroe nyang Raja mita nyan” peugah jih.
Raja muda hireuen, hana meuphom peu meukeusud Si Toetong Gapu. Sabab Raja kon mita putroe, gobnyan ka meutunangan ngon Putroe Canden di Kuala. “Soe inong nyoe?” tanyong Raja.
“Ampon Tuanku, nyan inong pungoe, harap Tuanku bek teusinggong” jaweub Peutua Adat.
“Peu mantong na ureng chik jih?” tanyong Raja lom.
“Mantong Tuanku,” seuot Keuchik teuma.
“Ci neuhoi keuno,” pinta Raja
Kon wayang susah Apa Sarong dek peurangaianeuk jih. Dikeu Raja jipeutoh peurangai brok Si Toetong Gapu lagee sebenajih. Gobnyan lakee supaya Si Toetong Gapu geuba u istana geupeujeuet keu pembantu di Meuligoe. Bak akhee, Si Toetong Gapu geuba u meuligoe ateuh pertimbangan mentroe.
Di Meuligoe, bak si uroe, Si Toetong Gapu geucrong ie bak mon untok geupasoe ie lam mundam bak bineh reunyuen. Jikalon bayangan sidroe putroe leupah ceudah, jipikee nyan droe jih. “Bethoi that ceudah rupa lon, sunggoh hana adee Raja geupeugot lon lageenyoe hi,” peugah Si Toetong Gapu lam hatee.
Tima diseumpom beukah dua, ngon bagah jijak ubak Raja. “Pat cit ie hai Toetong Gapu?” tanyong Raja.
“Peu neupikee get that hi sidroe putroe angkot2 ie?” tanyong Si Toetong Gapu ngon beungeh, “tima ka lon peubeukah.”
Raja meupikee siat leuhnyan geu seuot, “beta nyang salah, tapi putroe han salah angkot ie, enteuk meunyoe guci ka peunoh, neu ek keuno u meuligoe.” Si Toetong Gapu dijok lom tima kulet.
Watee Si Toetong Gapu geucrong ie, leumah lom bayangan putroe meungui subang, paon ngon gleueng gaki, tapi mantong cit geupikee nyan bayangan droe jih. Jiseumpom lom tima nyan. Tapi han ditem beukah. Dihoi lee Si Toetong Gapu asee istana geuyue priek tima hana cit ditem beukah, Si Toetong Gapu meuhila-hila ngon asee buno.
Teukhem Putroe Canden kalon peurangoe Si Toetong Gapu dari ateuh bak geulima bak bineh mon nyang bayangan jih leumah lee Si Toetong Gapu buno. Baroe jih sadar peu yang teujadi buno. Tapi niet brok pih teuka teuma. Jih kueneuk tipee putroe Canden.
Ngon narit mameh Si Toetong Gapu lakee putroe nyan tron, “ so nan tuan putroe nyang ceudah rupa nyoe, keuno neutron, bek duek bak bineh cabeueng, adak roet soe peu-ubat.”
“Nan hamba Putroe Canden, han hamba tron seugolom rombongan troh u meuligo Raja Sedang.”
Si Toetong Gapu hana putoh asa, dirayu jih putreo troh item tron. Watee ka troh u baroh, Si Toetong Gapu geupeuleueh bajee putroe dituka ngon pakaian jih. Laju dipeu’ek u Meuligoe.
Singkat ceuritra, Si Toetong Gapu meunikah ngon Raja. Han jiteupeu nyan Si Toetong Gapu.
Watee mak meugang troh, Raja geublo sie, llheue that. Jimeuheuet that pajoh masakan putroe. Bandum sie diantat bak Si Toetong Gapu. Sabab jih han jeuet peulaku, nyang tuleueng jireuboh, nyang asoe nyan keuh jiboh u likot meuligoe. Watee pajoh bu, teuntee raja bingong, hireuen pakon nyang na bak meja cit tuleueng sagai. Han jitanyong jiet bek weueh hatee putroe.
Lheueh nyan raja meukeulileng, teucom bhee gule mangat that bak saboh jambo. Oh troh u likot meuligoe teucom bee gule mangat that lam jambo bak bineh nyan. Han teutee Raja laju tamong, lam jambo nyan geukalon na meumacam-macam gulee teuhidang. Habeh hireuen Raja Seudang.
“Jeuet lon cuba masakan gata?” kheuen Raja bak po jambo nyan.
“Silahkan, meunyoe Tuan meuheuet, sie lon teumee di likot meuligoe, putroe ka geuboh bunoe.
Meurasa that raja pajoh bu di sinan. Lheuehnyan buno, raja geutanyong bak po jambo “so seubeunajih droneuh nyoe, Toetong Gapu?”
“Lon tuan nyoe Putroe Canden, lon ka dipengeuet lee si Toetong Gapu”
Raja beungeh kon wayang lee, gobnyan leupah murka, hana laen watee lee Toetong Gapu geuseret u penjara. Toetong Gapu harus meutanggong jaweueb bak mandum nyang ka geupeuget keu Putroe Canden. Seudangkan Putroe Canden di ba tamong lam meuligoe, u teumpat nyang seubeuna.
Nyan keueh sipeuet ureueng nyang meucita-cita tapi hana sesuai ngon kada jih. Dipaksa droe jih hana meuceureuemen Bak dudoe doe keudroe cit nyang meunanggong akibat jih.

Jika menanam kebaikan
Maka akan menuai kebahagiaan
Jika menanam keburukan
Maka akan menuai petaka

Kamis, 18 Desember 2008

Budaya Batak

“HUTAGALUNG” DAN SIBOLGA

Oleh: Essi Hermaliza, S.Pd.I

Pendahuluan
Hutagalung, Tanjung, Siregar, Nasution, Lubis dan lain-lain adalah nama-nama marga yang tertera pada nama belakang sebagian masyarakat di Sumatera Utara. Marga merupakan identitas kekerabatan dalam keluarga yang dapat menunjukkan asal-usul keluarga.
Marga mempunyai peranan penting dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam pelaksanaan berkehidupan, berkeluarga, dan bermasyarakat yang merupakan tata aturan kelembagaan dalam adat, sehingga seseorang tersebut dapat berperilaku dan bertutur dengan baik.
Marga muncul dalam suatu kelompok tertentu di mana setiap keturunan dalam kelompok itu menyandang marga yang sama. Dalam hal ini, marga yang digunakan mengikuti garis ayah atau dikenal dengan istilah patrilineal. Jadi marga yang boleh disandangkan pada nama akhir seseorang adalah marga yang sama dengan ayahnya.
Hutagalung adalah salah satu marga yang memiliki kelompok yang cukup besar di Sumatera Utara atau tepatnya di Kota Sibolga. Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42' - 1 46' LU dan 98 44' - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara sungai-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik. Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan 16 kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan.[1]
Dari Sibolga ini lah marga Hutagalung berasal dan berkembang menjadi satu komunitas yang besar dan terpandang. Berikut ulasan tentang keberadaan komunitas Hutagalung di Sumatera Utara.

Asal Muasal “Hutagalung”
Hutagalung merupakan salah satu marga tertua di Sibolga. Menurut seorang penulis sejarah Sibolga, Tengku Luckman Sinar, SH., seorang peneliti Belanda bernama EB Kielstra dalam salah satu penelitiannya menemukan bahwa sekitar tahun 1700 dari Negeri Silindung bernama Tuanku Dorong Hutagalung mendirikan Kerajaan Negeri Sibogah, yang berpusat di dekat Aek Doras. Dalam catatan EB Kielstra ditulis tentang Raja Sibolga: "Disamping Sungai Batang Tapanuli, masuk wilayah Raja Tapian Nauli berasal dari Toba, terdapat Sungai Batang Sibolga, di mana berdiamlah Raja Sibolga”.[2]
Penetapan tahun 1700 itu diperkuat analisis tingkat keturunan yakni bahwa Marga Hutagalung yang telah berdiam di Sibolga sudah mencapai sembilan keturunan. Kalau jarak kelahiran antara seorang ayah dengan anak pertama adalah 33 tahun (angka ini adalah rata-rata usia menikah menurut kebiasaan orang Batak) lalu dikalikan jumlah turunan yang sudah sembilan itu, itu berarti sama dengan 297 tahun. Maka kalau titik tolak perhitungan adalah tahun 1998, yaitu waktu diselenggarakannya Seminar Sehari Penetapan Hari Jadi Sibolga pada tanggal 12 Oktober 1998, itu berarti ditemukan angka 1701 tahun.[3]

Gambaran Umum Kota Sibolga
Nama Sibolga berasal dari kata “Sibalgai” yang artinya kampung atau huta untuk orang yang tinggi besar. Konon katanya orang yang membuka Sibolga yang bermula di perkampungan Simaninggir bernama Ompu Datu Hurinjom memiliki postur tubuh tinggi besar.[4] Adalah sebuah pantangan bagi masyarakat Batak untuk menyebut nama seseorang yang dituakan dan dihormati secara langsung maka untuk menyebut nama kampung yang dibuka oleh Ompu Datu Hurinjom dipakailah sebutan "Sibalgai".
Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42' - 1 46' LU dan 98 44' - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan enam belas kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan.[5]
Dilihat dari sudut pandang topografi, Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter, kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 persen sampai lebih dari 40 persen dengan rincian; kemiringan 0-2 persen mencapai kawasan seluas 3,12 kilometer persegi atau 29,10 persen meliputi daratan Sumatera seluas 2,17 kilometer persegi dan kepulauan 0,95 kilometer persegi; kemiringan 2-15 persen mencapai lahan seluas 0,91 kilometer persegi atau 8,49 persen yang meliputi daratan Sumatera seluas 0,73 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,18 kilometer persegi; kemiringan 15-40 persen meliputi lahan seluas 0,31 kilometer persegi atau 2,89 persen terdiri dari 0,10 kilometer persegi wilayah daratan Sumatera dan kepulauan 0,21 kilometer persegi; sementara kemiringan lebih dari 40 persen meliputi lahan seluas 6,31 kilometer persegi atau 59,51 persen terdiri dari lahan di daratan Sumatera seluas 5,90 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,53 kilometer persegi.[6]
Selain itu Kota Sibolga memiliki pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dari dan menuju pulau Nias.
Potensi utama perekonomian masyarakat di Sibolga bersumber dari bidang perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan, dan industri maritim.
Jadi, keberadaan Sibolga di Provinsi Sumatera Utara bukanlah merupakan sebuah wilayah kecil. Akan tetapi adalah salah satu kabupaten yang keberadaannya memiliki peranan penting di bidang kelautan, baik di daerah pesisir maupun Sumatera Utara secara menyeluruh.

Sibolga di Masa Lalu
Kesultanan Sibolga berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli.
Berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh.
Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera—Teluk Tapian Nauli—pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.[7]
Kehadiran dan gerak langkah Belanda dan Inggris di Teluk Tapian Nauli bisa dilihat dari beberapa kronologi peristiwa berikut ini:
1604: Perjanjian antara Aceh dengan Belanda, yaitu antara Sultan Iskandar dengan Oliver.
1632: Kapal Belanda mulai berhadapan dengan Inggris di Pantai Barat Sumatera dalam rangka kepentingan dagang.
1667: Belanda mendirikan benteng (loji) di Padang.
1668: Belanda mulai dengan politik adu domba, menghasut Tiku dan Pariaman lepas dari Aceh. Barus pro Pagaruyung diusir dari berbagai tempat.
1669: Setelah berkuasa di Sumatera Barat, Belanda mulai mengincar pesisir Tapanuli dan mendirikan loji di Barus.
1670: Karena keserakahan Belanda (VOC) dengan praktek dagangnya yang monopolistis, pemberontakan di Barus terhadap Belanda tidak dapat dielakkan dan terus meningkat. Raja Barus dibantu oleh adiknya Lela Wangsa berhasil mengusir Belanda dan menghancurkan loji Belanda.
1678: Belanda dapat membalas, namun pada ketika itu perang sengit antara Raja Barus dengan Belanda terus berkobar. Raja Barus melakukan taktik gerilya. Putera raja di Hulu berhasil membuhuh dokter Belanda dan seorang serdadu Belanda. Namun Belanda berhasil menangkap Raja I^ela Wangsa dan membuangnya ke Afrika Selatan.
1733: Belanda semakin merajalela dengan berhasilnya menangkap Raja Barus. Seterusnya bukan hanya Barus saja yang diserang, tapi Belanda juga menyerang Sorkam. Kolang dan Sibolga.
1734: Oleh karena Belanda telah melakukan penyerangan terhadap Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli, maka Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli mengkonsolidasikan diri, maka lahun ini terjadilah peperangan secara besar-besaran terhadap Belanda. Serangan datang dari Sibolga, Kolang, Sorkam dan Barus dipelopori anak Yang Dipertuan Agung Pagaruyung.
1735: Belanda terkejut dan kewalahan menghadapi peperangan ini. Belanda melakukan penelitian, dan ternyata diketahui bahwa semangat patriotisme yang dikobarkan dari Raja Sibolga itulah sumber kekuatan. Belanda ingin melampiaskan rasa penasarannya kepada Raja Sibolga, namun tidak berhasil, Antara 1755-1815 pesisir Pantai Barat Sumatera Utara, Teluk Tapian Nauli, berada di bawah pengaruh Inggris. Pada 1755 Inggris memasuki Tapian Nauli dan membuat benteng di Bukit Pulau Poncan Ketek (Kecil). Mereka mulai menguasai loji-loji Belanda dan markas Aceh yang berada di pesisir Barat Tapanuli.
1758: Pasukan Inggris mulai mengusir loji-loji Belanda dan juga markas Aceh dari pesisir barat Tapanuli. Silih berganti usir-mengusir antara Inggris dengan Belanda.
1761: Perancis meninggalkan Poncan. Kemudian Inggris datang bekerjasama dengan penduduk Tapian Nauli dan Sibolga.
1770: Karena suasana perdagangan mulai tenang, maka Inggris mendatangkan budak dari Afrika dan India untuk mengerjakan urusan dagang dan perkebunan Inggris. Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga merasa keberatan atas tindak tanduk Inggris ini.
1771: Stains East Indian Company Inggris di Tapanuli dinaikkan menjadi "Residency Tappanooly".
1775: Karena dagang Inggris mulai menurun karena tidak mendapat simpati dari Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga, maka Belanda mengambil kesempatan mengadakan perjanjian dagang dengan Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga.
1780: Puncak perselisihan antara Belanda dengan Inggris adalah persoalan monopoli garam. Kesempatan ini dipergunakan oleh Aceh untuk menyerang Inggris di Teluk Tapian Nauli. Aceh untuk sementara dapat menduduki Teluk Tapian Nauli, akan tetapi Inggris meminta bantuan dari Natal dan Inggris kembali menduduki Tapian Nauli (Poncan Ketek).
1786: Aceh kembali menyerang Inggris di Tapian Nauli. Serangan ini tidak berhasil karena Inggris meminta bantuan ke Natal.
1801: Jhon Prince ditetapkan menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Poncan Ketek. Sejak saat itu Poncan Ketek mulai ramai didatangi oleh orang Cina, India, dan lain-lain.
1815: Residen Jhon Prince mengadakan kontrak perjanjian dengan Raja-Raja sekitar Teluk Tapian Nauli, termasuk Raja Sibolga. Perjanjian ini disebut "Perjanjian Poncan" atau "Perjanjian Batigo Badusanak".
1825: Inggris menyerahkan Poncan kepada Belanda, sebagai realisasi Traktat London 17 Maret 1824.
1850: Belanda mulai menata pemukiman di Sibolga dengan menimbun rawa-rawa dan membuat parit-parit.
1851: Pengukuhan Adat Pusaka di Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya oleh Residen Tapanuli Conprus.[8]

Hutagalung dan Perniagaan
Eksistensi Marga hutagalung sangat diperhitungkan di Sibolga. Bahkan Sibolga identik dengan marga Hutagalung tersebut. Ketika pemerintah daerah menghitung usia Kota Sibolga dijelajahi dengan menghitung eksistensi marga Hutagalung tersebut yaitu dengan menganalisa silsilah keturunan Hutagalung di Sibolga.
Hutagalung adalah sekelompok warga yang cukup piawai dalam bidang perniagaan. Dalam kurun waktu 1513-1818, komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae dengan Sibolga yang menjadi daerah pesisir tempat keluar masuk komoditas ke tanah Batak selain Barus.
Komoditas yang dibawa dari pedalaman tanah Batak adalah hasil hutan. Sementara komoditas yang mereka bawa ke tanah Batak adalah garam, tekstil, perhiasan aksesoris, dan lain-lain. Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekspor kapur di Sumatera. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.[9] Selanjutnya warga Hutagalung yang menjadi perantara perniagaan dan mengirimnya melalui pelabuhan di Sibolga.
Para pedagang Hutagalung ini aktif menghadiri onan-onan yang menjadi pusat-pusat transaksi perdagangan di tanah Batak. Di setiap onan mereka mempunyai toko-toko untuk distribusi barang-barang sekaligus tempat pengumpul hasil hutan dari para petani. Alhasil pedagang Hutagalung menjadi makmur dengan tanah dan bangunan yang tersebar di mana-mana. Kelompok konglomerat Batak terbentuk melalui komunitas ini.

Agama
Komunitas Hutagalung adalah komunitas yang menganut Islam di Tanah Batak. Mereka menjadi komunitas Muslim Batak sudah sejak lama. Dapat dikatakan Islam berkembang di Sumatera Utara berawal dari Sibolga. Letaknya yang berada di daerah pesisir dan mengandalkan perniagaan sebagai mata pencaharian membuat warganya mudah menerima pengaruh dari luar. Dalam hubungannya dengan pedagang dari negara lain, tidak pula terhindarkan banyak pengaruh yang masuk ke daerah ini
Menurut catatan sejarah, pada tahun 921 H atau tahun 1514 M telah didirikan Mesjid Syiah di kampung Hutagalung, Horian di Silindung. Komunitas Hutagalung yang menguasai alur perdagangan di teluk Sibolga, sampai ke daerah Silindung, Humbang dan Pahae ini, mendirikan banyak mesjid di Silindung. Diyakini bahwa Aliran Syiah berkembang lebih pesat dari pada mazhab-mazhab mainstream Indonesia dan menjadi kepercayaan kebanyakan marga Hutagalung yang dipengaruhi oleh paham tasawuf syattariyah dan ajaran-ajaran yang menyerupai Syiah. Pada tahun 1285 M, ajaran Islam Syafi’i mulai masuk ke Sumatera khususnya wilayah sekitar Pase, Aceh. Dan berkembang pula hingga ke Sumatera Utara.[10]
Seorang tokoh Hutagalung yang terkenal dan terdokumentasi adalah Amir Hussin Hutagalung, bergelar Tuanku Saman lahir 1819 dan meninggal tahun 1837 yang semasa dengan Tuanku Rao; Faqih Amiruddin. Ayah dari Tuanku Saman adalah Khalifah Abdul Karim Hutagalung yang menjadi imam besar mesjid di Silindung. Namun pada tahap ini komunitas Hutagalung mulai meninggalkan praktek syiah dan beralih ke sunni seiring dengan redupnya pengaruh syiah di Indonesia.[11]

Penutup
Warga Hutagalung dikenal sebagai pedagang yang menguasai jalur-jalur penting perdagangan di tanah Batak. Komunitas Hutagalung juga dikenal sebagai komunitas maritim yang menguasai jalur pelayaran di pusat-pusat perekonomian nusantara saat itu. Mulai dari Sibolga, Malaka dan Riau.
Marga Hutagalung hanya sebagian kecil dari banyak marga dan komunitas lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Mereka terus eksis sampai sekarang.
Komunitas tersebut juga adalah komunitas perantau yang pandai mengadu nasib di negeri orang. Ada yang merantau sampai ke Negeri Jiran, Malaysia dan ada pula yang merantau hingga ke pulau Jawa. Jiwa masyarakat pesisir yang tangguh membuat mereka dapat bertahan. Sampai sekarang marga Hutagalung yang melekat di akhir nama seseorang tak hanya ada di Sibolga tapi ada pula di daerah lain, sehingga sering didengar oleh publik. Akan tetapi jika dilihat dari silsilah keturunan, maka pada akhirnya akan ditemukan bahwa mereka adalah para keturunan komunitas Hutagalung yang ada di Sibolga. Karena dari sinilah “Hutagalung” berasal. [ehz]
[1] http://www.wikipedia bahasa Indonesia. ensiklopedia bebas.htm. diakses pada tanggal 16 September 2008.
[2] Kesultanan Sibolga, http://sibolga. blogspot.com/2006/12/sultan-hutagalung. html diakses pada tanggal 20 September 2008.
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Kota Sibolga, http://www.wikipedia Indonesia.ensiklopedi bebas.com diakses tanggal 1 September 2008.
[6] Ibid.
[7] Kesultanan Sibolga, http://sibolga. blogspot.com/2006/12/sultan-hutagalung. html diakses pada tanggal 20 September 2008.

[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.

[11] Ibid.
Memaknai Nasionalisme dalam Seni Tari Tradisional Aceh
Oleh: Essi Hermaliza, S.Pd.I


Pendahuluan
Sebagai daerah yang kaya akan budaya, Aceh memiliki seni tari yang luar biasa. Tidak hanya rakyatnya yang berdecak kagum akan ketangkasan dan kedinamisan gerak yang ditampilkan, namun warga dunia pun dibuat terpana dan terkagum-kagum. Keberadaan Aceh dalam tatanan global bisa dikatakan tidak dapat dipandang sebelah mata dalam hal seni budaya, khususnya seni tari yang kini telah cukup populer.
Lihat saja, bagaimana riuhnya tepuk tangan penonton ketika Tari Saman menyelesaikan tahap demi tahap gerakannya, atau lihat bagaimana mata penonton tidak berkedip ketika Seudati menggoyang lantai panggung dengan kelincahannya. Dengar pula bagaimana pesona Rapa’i Geleng membuat penikmatnya melongo, dan masih banyak seni tari lainnya yang tidak kalah mempesonanya, tidak hanya menghibur tapi juga member banyak nilai baik dari simbol-simbol gerakannya maupun dari syair-syair lagunya.
Akan tetapi mengapa generasi muda masih memandang sebelah mata? Apakah ini adalah karena nasionalisme yang semakin menipis? Ataukah karena mereka tidak memahami arti nasionalisme sebagai anak bangsa?
Perhatikan petikan kejadian berikut:
“Pulang yuk, ngapain nonton tarian gituan, kampungan banget”. Saya terperanjat ketika saya mendengar kalimat itu meluncur mulus dari lidah saudara sepupu saya, saat itu kami sedang mengunjungi Pameran Budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Balai Chik Di Tiro atau yang lebih dikenal dengan nama Gedung Sosial. Pameran tersebut juga menggelar festival tarian-tarian Aceh dari berbagai daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Antusiasme masyarakat tampak lumayan, karena Gedung Sosial tampak ramai pengunjung. Tetapi ada komentar yang mengundang tanda tanya yang muncul dari remaja seumur 19 tahun yang mengganggu pikiran saya. Ini adalah kesekian kalinya saya mendengar. “Kampungan”, itukah nilai dari tarian tradisional yang dibanggakan seluruh rakyat di bumi Serambi Mekkah ini?

Konsep Nasionalisme
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tidak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara dunia ketiga, seperti India, China, Brazil, dan Indonesia.[1]
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin “nation” yang berakar pada kata “nascor” yang bermakna ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).[2]
Dari sumber lain, Nasionalisme secara bahasa berasal dari kata berbahasa Inggris “nation”, adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[3]
Dalam hal ini, Nasionalisme dibahas dalam konteks seni budaya yang difokuskan kepada kecintaan dan kebanggaan terhadap seni budaya bangsa dimana nasionalisme itu muncul sebagai rasa dan sikap yang menganggap seni budaya lokal adalah seni budaya terbaik yang patut dilestarikan.
Pemahaman tersebut dekat dengan pemahaman awam tentang konsep Chauvinisme. Namun kedua konsep itu tentu saja berbeda, Nasionalisme memiliki kecenderungan pada gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa, sedangkan Chauvinisme adalah rasa cinta tanah air yang berlebihan dengan mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain. Contoh Chauvinisme seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler dengan kalimat Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam dunia). Slogan ini kadang masih dipakai di Jerman untuk memberi semangat pada atlit dalam bertanding. Inggris juga punya slogan Right or Wrong is My County. Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan Dewa Matahari.[4]
Jadi secara umum dapat digambarkan bahwa nasionalisme merupakan paham yang terbentuk karena kecintaan terhadap tanah air yang pada akhirnya dapat diikuti dengan sikap patriotik, rela berkorban, dan lain-lain yang berhubungan secara langsung pada pembelaan bangsa negara.



Seni Tari Tradisional Aceh
Berbicara tentang nasionalisme, seni tari juga memuat nilai nasionalisme atau pesan yang dapat meningkatkan nasionalisme masyarakat. Berikut analisis nasionalisme dalam seni tari tradisional yang tumbuh dan berkembang di bumi Serambi Mekkah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1. Tari Seudati
Kata Seudati berasal dari bahasa Arab, syahadati atau syahadatain, yang berarti kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Aceh, syahadati diubah menjadi Seudati. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata Seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Selanjutnya, kata Seudati dijadikan salah satu istilah tarian yang dikenal dengan Tarian Seudati. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Di daerah yang disebutkan terakhir tarian Seudati dijadikan sebagai salah satu tarian tradisional.
Tarian tradisional yang satu ini sempat mengalami akulturasi. Sebelumnya tarian ini disebut ratoh yang difungsikan sebagai hiburan yang gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral bahkan dakwah penyebaran Islam. Namun dalam perjalanannya mengalami perubahan sehingga saat ini Seudati lebih dikenal sebagai tarian tradisional yang menunjukkan kejantanan, keberanian sehingga diberi julukan sebagai Tari Perang Rakyat Aceh.[5]
Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeet wie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Beberapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Pakaian yang dikenakan dalam tarian Seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna kuning. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam.
Bagian terpenting dalam tarian Seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Tari Seudati terdiri dari beberapa tahap, yaitu: saleum aneuk, saleum syeikh, likok, saman, kisah, pansi, lanie/gambus pembuka dan gambus penutup. Fase saleum, dimaksudkan sebagai tahap memberi salam kepada syahi dan hadirin yang melihat pertunjukan itu, kemudian diikuti fase likok yaitu fase penetuan gerakan yang akan ditampilkan dan saman dimana beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Selain itu ada juga fase kisah dan lainnya, dalam fase itu dapat dilantunkan syair yang berupa cerita-cerita sejarah, pesan-pesan agama Islam, pesan adat atau hadihmaja, serta pesan-pesan yang bersifat pembakar semangat.
Dulunya di zaman peperangan Seudati sering digunakan untuk membangkitkan semangat perang sabil melawan kaphe penjajah. Di antara syair yang sering dilantunkan adalah syair yang dipetik dalam Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil). Berikut sepenggal syair Hikayat Prang Sabi.[6]
Beu e’ muwoe Raja Aceh
Gaseh Allah ade neubri
Miseue raja nyangka dilee
Ade meu thee hana sakri

Po teumeureuhom raja dilee
Neu prang sitree jeueb-jeueb nanggri
Bandum kaphe talo neu prang
Panglima prang that beurahi

Nanggroe Aceh sikeulian
Pidie meunan he ya Rabbi
Lom Meureudu ngon peusangan
Sawang meunan teuh Lhokseumawe
Teulheueh nyan Pase lom Geudong
Kaphe Bajeung bek le neubri

Neubri beuhabeh sikeulian
Beu teureuban sampoe Idi
Neubri beugadoh dum kaphe nyan
Bek ji kaman nanggroe ini

Terjemahannya:
Agar kembali raja Aceh
Karunia Allah adil diberi
Seperti raja terdahulu
Adil masyhur tak terperi

Baginda Marhum raja terdahulu
Memerangi seteru di setiap negeri
Sekalian kafir kalah berperang
Panglima perang sangat berani

Negeri Aceh sekalian
Pidie pun demikian o ya Rabbi
Juga Meureudu dengan Peusangan
Sawang pun sama dengan Lhokseumawe
Setelah itu Pase dan Geudong
Kafir jahannam jangan dibiarkan lari kemari

Semuanya engkau musnahkan
Agar terbang sampai ke Idi

Semoga lenyap kafir itu
Tidak berdiam di negeri ini

Syair-syair ini menggambarkan kecintaan rakyat Aceh terhadap tanah air. Pada dasarnya nasionalisme rakyat Aceh didasari oleh motivasi cinta kepada agama dan tanah air. Dilihat dari beberapa wilayah yang disebutkan dalam syair menunjukkan bahwa rakyat Aceh tidak hanya mencintai wilayah tertentu namun mencintai seluruh negeri yang menjadi bagian dari wilayahnya. Ketika Aceh menjadi wilayah Kesultanan Iskandar Muda, bisa saja wilayah yang dibela itu adalah semenanjung kesultanan, namun pada masa sekarang wilayah yang dimaksud tentulah Indonesia secara menyeluruh.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan dan dinamika di Aceh, syair-syair Seudati dapat disesuaikan. Seorang syeikh ataupun aneuk syahi yang handal dapat menciptakan syair-syair secara spontan sesuai dengan kondisi saat tampil. Dalam pertunjukan dalam rangka memperingati hari besar nasional syairnya biasanya disesuaikan. Misalnya, pada peringatan tujuh belasan, hari kemerdekaan Republik Indonesia, syair diisi dengan semangat nasionalisme dengan bermacam-macam bentuk syair yang dapat menambah kecintaan masyarakat terhadap bangsanya.
Hal ini menunjukkan bahwa melalui Seudati sikap nasionalisme dapat ditumbuh-kembangkan. Karena gerakannya yang harmonis dan patriotik secara psikis dapat menyampaikan pesan itu dengan lebih berkesan.

2. Tari Saman
Dalam seni tari tradisional lainnya, tersebut pula salah satu tari konvensional yang cukup populer yaitu Tari Saman. Saman adalah tari yang ditampilkan dengan kegembiraan. Kata Saman berasal dari kosa kata bahasa Arab yaitu samaniah yang berarti delapan.[7] Tarian ini memang ditarikan oleh delapan orang penari atau lebih dan dua orang syekh yang bertugas melantunkan syair-syair pengiring gerakan Tari Saman atau yang biasa disebut Ratoh yang berarti nyanyian.
Tari Saman merupakan tarian Aceh terpopuler di antara tarian-tarian yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam. Tari Saman pada awalnya bernama Tari Rateb Meusekat yang ditampilkan oleh sejumlah perempuan dan nikmati oleh para perempuan pula. Sedangkan Saman ditarikan oleh sejumlah laki-laki. Tari ini dimainkan oleh pemuda-pemuda di dataran tinggi Gayo. Namun dalam perkembangannya tarian Aceh yang ditarikan dengan posisi duduk, mengandalkan kecepatan dan keharmonisan gerak dikenal dengan Tari Saman, walaupun ditarikan oleh laki-laki ataupun perempuan.
“Apalah arti sebuah nama”, dalam hal ini pepatah itu sepertinya cukup tepat. Mengingat pesatnya perkembangan Tari Saman tersebut, dengan kreasi yang semakin menakjubkan, salut tetap tertujukan untuknya.
Popularitas tarian yang satu ini telah merambah seluruh pelosok negeri dan dunia. Bahkan para peneliti seni dari luar negeri ada yang dating khusus untuk meneliti tarian yang satu ini.
Popularitas itu pula yang kemudian memunculkan rasa nasionalisme pada diri anak negeri. Nasionalisme tersebut termotivasi dari rasa bangga terhadap budaya bangsa. Tari Saman tidak harus ditarikan oleh anak Aceh, tapi juga dimainkan oleh sejumlah anak di daerah lain. Bahkan hampir semua SMA di daerah Jabodetabek mempunyai kegiatan ekstra kurikuler tari Saman. Hampir tiap minggu selalu ada festival yang diikuti belasan hingga puluhan SMA. Karena tradisi festival ini, banyak variasi gerakan tercipta.
Hal ini menujukkan bahwa Saman tidak hanya milik Aceh tapi milik Indonesia. Setiap anak bangsa di negeri ini dapat bangga menyebutkan Tari Saman adalah salah satu seni budaya Indonesia. Jadi ketika Saman ditampilkan di Eropa, Asia, Amerika, Australia dan afrika dan dibanjiri pujian kekaguman itu tidak hanya ditujukan pada seni budaya Aceh, akan tetapi seni budaya Indonesia.
Bayangkan jika tarian ini diklaim oleh bangsa lain sebagai seni budayanya, tak hanya Aceh yang bergolak namun juga se-Indonesia. Mengapa? Karena nilai nasionalisme pasti ada dalam diri setiap anak bangsa di negeri ini.

Penutup
Merujuk pada fenomena tersebut diatas kiranya sangat tidak pantas bila masih ada di kalangan generasi muda apalagi di Aceh sendiri menganggap seni tari tradisional sebagai performance yang kampungan. Apakah ini yang membuat perkembangan Saman terbatas di Nanggroe Aceh Darussalam?
Marzuki, seorang pelatih tari tradisional Aceh yang berdomisili di Jakarta menyebutkan bahwa di luar Aceh, Saman berkembang dengan baik, ada variasi gerakan yang inovatif tercipta. Hal itu disebabkan oleh banyak diselenggara-kannya festival-festival Tari Saman yang membuat penarinya menjadi lebih kreatif dan kompetitif.[8] Sedangkan di Aceh kegiatan semacam itu sangat jarang diselenggarakan.
Namun perlu diperhatikan bahwa penanaman nasionalisme kepada generasi muda dapat ditanamkan melalui seni. Seudati dan Saman hanya sampel sederhana. Masih banyak seni budaya lainnya yang dapat dijadikan media untuk menanamkan nasionalisme semenjak dini. [ehz]
[1] Sulfikar Amir, Epistimologi Nasionalisme, Rubrik Bentara Kompas, http://www.kompasonline. com/bentara/ epistimologi-nasionalisme
[2] Ibid.
[3]Nasionalisme, Artikel Kategori: Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme, accessed on 22 April 2008.
[4] Ade Sulaiman, dkk., Menunjukkan semangat kebangsaan, http://www.Isnanimurti’s Weblog.htm. accessed on 1 Agustus 2008
[5] T. Alibasjah Talsya, Atjeh Jang Kaya Budaja, Pustaka Meutia, Banda Atjeh, 1972, hal. 10

[6] Anita T. Iskandariata, M.Hum, Makna Hikayat Perang Sabil di Aceh, Ar Raniry Press, Banda Aceh, 2004, hal. 57
[7] Ibid. hal 22.
[8] Amir Sodikin, Tari Saman: http://www. kompas.com/kompas-cetak/0612/01/Social Imagination.htm