Cerita Dibalik Nama Terbangan dan Kluet
Pendahuluan
Toponimi
selalu menarik untuk dibahas, banyak hal unik yang dapat diungkap dibalik
penamaan suatu daerah. Toponimi sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu
istilah yang digunakan untuk bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul,
arti, penggunaan, dan tipologinya.[1] Dalam
hal ini, toponimi Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menyimpan
banyak cerita yang hidup melalui tradisi lisan di sana. Terbangan dan Kluet
menjadi topik yang akan dibahas untuk mengungkap asal usul dan penamaannya dalam
kontek mitologi dan referensi ilmiah.
Terbangan,
Desa Ladang Tuha Kemukiman Terbangan Kecamatan Pasie Raja merupakan salah satu
daerah dalam Kabupaten Aceh Selatan, tepatnya 15 km sebelah selatan Kota Tapaktuan
yaitu di kaki gunung terakhir dari Kecamatan Tapaktuan menuju kecamatan Pasie
Raja. Daerah ini berada dipesisir dengan pemandangan laut yang indah. Sedangkan
Kluet adalah daerah pemukiman masyarakat etnis Kluet yang terdiri atas empat
kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan.
Dalam
beberapa kondisi, selain data sejarah, cerita rakyat dapat dijadikan acuan
dalam mengkaji toponimi suatu daerah karena sedikit banyaknya keterangan dalam
sejarah memiliki kesamaan dengan cerita rakyat. Sebagaimana yang telah diketahui
yaitu bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang telah ada sejak zaman dahulu,
bahkan cerita rakyat telah dimulai sejak manusia memiliki bahasa dan telah
melintasi rentang waktu yang panjang. Cerita rakyat mengalami tranformasi dan
regenerasi dari masa ke masa, karena cerita rakyat umumnya diwariskan melalui
seni tutur atau tradisi lisan.
Untuk
menganalisis toponimi Terbangan ini, simaklah Legenda Gunung Terbang yang
menjadi asal-usul Kemukiman Terbangan berikut ini:
Legenda Gunung Terbangan[2]
Dahulu Kala di Pesisir
Selatan terdapat beberapa kerajaan kecil; diantaranya tersebutlah Kerajaan
Sawang dan Kerajaan Kluet. Masing-masing kerajaan memiliki kesaktiannya selain
fanatik dalam agamanya yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Konon saat itu, Kerajaan
Sawang memperingati haul atau hari jadinya. Untuk itu ditampilkan berbagai
pertunjukan yang bersifat hiburan. Pada perhelatan itu turut diundang Raja
Kluet. Ia hadir memenuhi undangan didampingi beberapa orang pengawalnya. Pada
perhelatan itu pula Raja Kluet ditantang untuk bertaruh sabong
manok (sabung ayam). Tantangan itu
disambut baik oleh sang Raja Kluet. Bahkan sebelum berangkat ia telah melakukan
persiapan, Raja Kluet memerintahkan kepada para pengawalnya agar mereka
berbohong kepada Raja Sawang dengan mengatakan bahwa Raja Kluet membawa sebotol
emas sebagai taruhan dalam sabong manok tersebut.
Sedangkan Raja Sawang mempertaruhkan sebagian negeri kekuasaannya.
Dengan disaksikan oleh
seluruh rakyat negeri Sawang, Sabong Manok antara Raja Kluet yang berambisi
mendapatkan sebagian negeri di bawah Kekuasaan Kerajaan Sawang dengan Raja
Sawang yang berambisi memenangkan sebotol emas, pun digelar. Masing-masing
pendukung bersorak-sorai untuk kemenangan ayam jagoannya yang tengah berlaga.
Akhirnya ayam Raja Sawang keluar sebagai pemenangnya. Sebagaimana kesepakatan,
Raja Sawang menagih sebotol emas yang telah dipertaruhkan. Dengan perasaan
sedih dan kecewa Raja Kluet mengajak Raja Sawang untuk mengambil emas tersebut
yang katanya ia simpan atau ia timbun di dalam pasir di pantai dekat Krueng
Sawang.
Dalam perjalanan menuju
tempat penyimpanan sebotol emas tersebut, Raja Kluet berbisik kepada
pengawalnya, “lari dan pulanglah kalian ke negeri kita, biarkan saya yang mati
di sini, asalkan kalian selamat.” Maka larilah para pengawal menyelamatkan
diri. Setelah itu Raja Kluet pun lari ke arah berlawanan, yaitu menuju sebuah
bukit dekat Krueng Sawang. Setibanya di puncak bukit itu, bertiuplah angin
topan diiringi suara gemuruh. Melihat suasana yang demikian itu Raja Kluet pun
berdoa kepada Allah SWT, agar ia diselamatkan dari marabahaya. Doanya pun
terkabul, bukit itu terangkat dan terbang ke arah Selatan, yaitu menuju
Kerajaan Raja Kluet. Dalam perjalannya sebongkah batu besar jatuh di Desa Damar
Tutong Kecamatan Samadua dan sampai saat ini diabadikan dengan nama Batee
Tunggay yang berarti batu tunggal.
Bukit itu tiba
diperbatasan kecamatan Tapaktuan yang artinya Sang Raja Kluet telah berada
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kluet. Merasa dirinya aman maka turunlah ia
dari bukit tersebut dan pulang ke kerajaan. Di sana ia telah ditunggu oleh para
pengawalnya yang sejak awal telah meyakini bahwa rajanya akan dapat mengatasi
masalahnya.
Namun tidak selesai
sampai di situ, tentu saja pihak Kerajaan Sawang datang ke Kerajaan Kluet untuk
menuntut haknya. Perselisihan pun tidak terhindarkan. Kerajaan Sawang
menunjukkan pertentangannya dengan Kerajaan Kluet.
Analisis Toponimi
Legenda
di atas menunjukkan bahwa ada gunung yang terbang. Ini menyiratkan bahwa
wilayah yang dikenal dengan terbangan dahulunya tidak memiliki gunung yang
sekarang dilalui oleh masyarakat dari Pasie Raja menuju Tapaktuan. Gunung itu
ada karena berpindahnya gunung dari Sawang. Gunung yang terbang untuk
menyelamatkan jiwa Raja Kluet dari kejaran Raja Sawang.
Cerita
yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Pasie Raja ini menunjukkan
adanya konflik yang melatarbelakangi bentukan alam yang kemudian menjadi salah
satu wilayah di daerah tersebut. Sudah menjadi karakteristik sebuah legenda
yaitu bahwa cerita legenda tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Legenda ini
pula yang menjadi dasar asal-usul Desa Terbangan yang memiliki potensi wisata
pantai yang indah.
Tanoh
Kluwat
Terbangan
adalah wilayah timur terluar kekuasaan kerajaan Kluet pada masa itu. Menurut
Bukhari dkk dalam bukunya berjudul Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Kerajaan
Kluet itu diperkirakan sudah ada sejak Abad I Masehi.[3]
Akan tetapi kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Laut Bangko.
Puing-puing bekas kerajaan tersebut masih ada di sekitar Danau Laut Bangko di
Belantara Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di bagian barat dari
kawasan perbatasan Kecamatan Bakongan dengan Kecamatan Kluet Timur, sekarang. Disebutkan
pula di buku tersebut bahwa Kluet pernah menjadi kerajaan Megah.[4]
Raja terakhirnya bernama Malinda dengan permaisuri bernama Rindi.
Kerajaan
Laut Bangko itu karam oleh banjir besar. Satu versi cerita rakyat menyebutkan
bahwa ketika Raja Malinda meninggal dunia, permaisuri menangis tiada habisnya
meratapi kematian suaminya. Airmatanyalah yang menenggelamkan Kerajaan Laut
Bangko. Versi lainnya, Kerajaan Laut Bangko memang tenggelam karena banjir
besar. Sebagian besar rakyatnya ikut karam di sana, sebagian kecil lainnya
bertahan hidup dan selamat hingga daratan yang kebetulan saat hanyut dapat
meraih batang cebero (gelagah), deski (sangar), dan lain-lain sebagai
pelampung, mengapung dibawa arus. Mereka yang selamat selanjutnya melakukan
pengembaraan untuk mendapatkan tempat pemukiman untuk menetap di tempat yang
baru.[5]
Mereka menjadi masyarakat nomaden hingga tiba ke tanah Karo, Alas, Singkil dan
Kluet sekarang. Secara geografis, keempat daerah tersebut memang berbatasan
dengan lokasi Laut Bangko.
Di
Tanah Alas, masyarakat memiliki kisah Kerajaan Laut Bangko dalam versi yang
berbeda. Zainuddin dalam bukunya berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara
menyebutkan bahwa pada tanggal 7 Januari 1960 beliau bertemu Abdul Samad gelar
penghulu Tebing Datar Tanah Alas yang berusia 75 tahun. Penghulu tersebut
menceritakan bahwa pada zaman purbakala ada seorang Raja di Negeri Kluet Aceh
Selatan, beranak 7 orang anak laki-laki dan memelihara seekor anjing besar.
Setelah ayah mereka meninggal, anak tertua menginginkan menjadi raja
menggantikan ayahnya, tetapi tidak disetujui oleh adik-adiknya. Masing-masing
mereka juga memiliki hasrat yang sama untuk memimpin kerajaan. Akhirnya tibalah
mereka pada satu kesimpulan yakni bahwa tidak satupun diantara mereka diangkat
menjadi Raja. Maka anjing peliharaan ayahnyalah yang dinobatkan menjadi raja.
Saat
akan dinobatkan, tiba tiba datanglah seorang aulia bertongkat, lalu
dipancangkannya tongkatnya ke tanah. Ia menasehati agar jangan mengangkat
anjing menjadi raja tapi hendaklah salah satu dari mereka. Keenam anak raja
tetap tidak dapat menerima bila saudara tertua mereka dijadikan raja, mereka
bahkan mengancam akan membunuh aulia tersebut. Sang aulia hanya mengingatkan
bahwa bila keinginan mereka tetap dilaksanakan maka kelak bencana besar akan
melanda kerajaan mereka. Lalu sang Aulia mencabut tongkatnya dan menghilang
diikuti badai dan air yang keluar deras dari lubang bekas tancapan tongkat sang
aulia. Demikian kerasnya hingga
memporak-porandakan dan menenggelamkan seluruh kerajaan. Di sana lah tempat
yang kini dikenal dengan nama Laut Bangko. Sebagian rakyat yang sempat
menyelamatkan diri mencari daratan baru, mereka lari hingga ke Singkil, Karo,
Dairi, Bakhara, Alas dan lain-lain.
Dua
kisah di atas berbeda namun menyiratkan kesamaan yaitu karamnya Kerajaan Kluet.
Dari sanalah nama “KLUET” itu mucul. Ada yang mengatakan kata itu berasal dari
kata “Khalut” yang artinya bertapa.
Kata ini menunjukkan aulia yang nasehatnya diabaikan. Ada pula yang mengatakan
berasal dari kata “Kaluat” yang
artinya menjijikkan. Yang lainnya juga menafsirkan dengan kata Kalut, artinya kacau yang menyiratkan
kekacauan yang melanda kerajaan ketika datangnya banjir besar itu. Akan tetapi hingga saat ini
belum ada kalangan budayawan dan sejarawan yang dapat memastikan mana yang
menjadi asal kata Kluet.
Kendati
demikian, cerita-cerita di atas dapat menggambarkan keberadaan masyarakat Kluet
yang terus berkembang hingga kini.persebaran masyarakatnya ke beberapa daerah juga dapat dengan mudah
diketahui dari nama marga yang disandangnya seperti Sebayang, Selian, Mencawan,
Pinem, dan Bangko yang juga ada di beberapa wilayah lainnya di Aceh.
Penutup
Teori
yang berpendapat bahwa cerita rakyat kadang kala dapat ikut menyumbang data
kesejarahan, tidak dapat diremehkan terlebih ketika data ilmiah sulit diperoleh
ditambah pula tidak adanya narasumber kunci yang tepat. Meski tidak dapat
dibuktikan secara ilmiah, namun hal itu
dapat menjadi data awal untuk penggalian lebih lanjut.
Mengingat
Kluet adalah etnis yang unik dengan karakter masyarakatnya yang berbeda,
dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan langkah-langkah yang
tepat untuk mengungkap sejarah penamaan dan asal-usul Kluet beserta wilayah-wilayah
yang pernah berada dalam wilayah kekuasaannya seperti halnya penamaan Desa
Terbangan.
[1]
Toponimi, id.wikipedia.org/wiki/toponimi diakses tanggal 2 Mei 2013.
[2]
Nasruddin, Legenda: Gunung Terbang, http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacacerpen&cerpen
id =7, diakses tanggal 8 Agustus 2008
[3] Bukhari
RA, dkk. 2008. Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Ikatan Kekeluargaan
Masyarakat Kluet (IKMK) Banda Aceh. hlm. 12.
[4] Ibid.
[5] Ibid.